Keseimbangan
Cahaya
Oleh: Iffatu
Masrura Al Hakimi
Komitmen
bukan hal yang mudah untuk dipertahankan, ku ratapi bulan purnama. Ku pertajam
pemikiranku akan sebuah ikatan. Bulan mempunyai fase-fase yang selalu membuat
setiap mata untuk tetap menanti sebuah kesempurnaan.
“Akankah
kau melihat bulan yang sama disana?”
Angin
malam dengan lembut menyapaku. Lamunanku terhenti, suasana tenang seharusnya
tidak berubah. Kini menjadi riuh dan ramai dengan kehadiran Rani.
“Bagaimana
skripsimu?”
Ku
tersenyum manis, “Masih banyak hal yang ingin aku kerjakan di luar skripsi.”
Rani
bernafas panjang mendengarkan jawabanku. “Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu.
Lebih baik kita masuk ke rumah.”
“Sesekali
aku ingin merasakan betapa kejamnya malam, karena aku sudah terlalu bosan
berkecimpung menikmati siang.”
Rani
paham akan keadaan yang menyelimuti kesibukanku, cukup dengan senyuman dia
menanggapi sebuah keluh-kesah yang ku tahan.
“Sampai
kapan kamu akan menyiksa dirimu untuk mempertahankan perasaanmu?”
Ku
terdiam, ratusan kali Rani mengucap pertanyaan yang tak akan bisa terjawab
dengan baik oleh mulutku. “Aku gak tahu apakah ini yang dinamakan cinta, Ran?”
“Aku
berulang-ulang mengatakan ke kamu, bahwa tidak ada yang mengerti akan hakekat
cinta, tidak juga aku. Aku dan kamu menjalin persahabatan dengan cinta. Hatiku,
hatimu, dan hatinya hanya Tuhan yang tahu persis. Aku tak pernah menyuruhmu
berhenti mecintainya, tetapi dia sudah menikah dengan orang lain, Far. Apa kamu
akan terus menunggu orang yang sudah punya istri?”
“Jika
Tuhan menakdirkan kami berjodoh, penantianku tidak akan sia-sia.”
“Sadarlah,
Far! Ini adalah dunia nyata bukan sekedar dongeng yang semudah itu selesai. Apa
kamu mau dibilang perebut suami orang? Seharusnya setelah dia memutuskan
hubungan kalian dan memilih pilihan orang tuanya. Harusnya kamu sadar, cintamu
telah berakhir.”
Angin
malam yang halus dan sejuk, perlahan tajam menusuk. Pipiku yang awalnya kering
tiba-tiba basah. “Aku yang terlalu bodoh dalam memahami arti kehidupan, tapi
apa salahnya aku ingin bahagia?” Kalimat yang terbata-bata karena sesak tangis.
“Aku terlalu mencintainya, Ran.”
“Kamu
menyebutnya cinta? Kamu masih ingat kata-katamu waktu kecil ketika melihatku
menangis. Tangisan untuk ibuku yang memilih menikah lagi dan meninggalkanku dan
ayah?”
Tangisanku
semakin sesenggukkan. Sebentar ku tengok bulan, ku curi tatapannya. Seolah
bulan berusaha menenangkanku. “Ini bukan cinta, Far. Kamu terlalu egois dalam
bersikap.”
“Waktu
itu tangisanku begitu keras. Keras bahkan semakin keras. Kamu memelukku seolah-olah
adikku yang polos dan tak mengerti apapun. Kau tetap memelukku meskipun
tangisan itu semakin keras.” Ku telusuk kisah masa lalu di saat usiaku
menginjak 10 tahun. “Kamu terlalu dewasa di usiamu, Far.”
“Cinta
sejati tak mengenal jarak atau keberadaan, tetapi sebuah rasa yang akan selalu
melekat dalam sanubarimu. Tangisan tidak akan membuatmu merubah keadaan, tapi
menangislah jika itu yang terbaik untukmu. Biarkan cinta yang kau miliki hanya
Tuhan yang tahu. Jangan sampai di sisa umurmu, kamu merugi. Cinta akan sesalu
ada dalam hidupmu, tetapi kau tak bisa memaksakan cinta untuk memilihmu.”
Kata-kata yang keluar dari anak SD ketika menenangkan sahabatnya.
“Aku
gak pernah lupa akan sajak yang terdengar jelas di telingaku, karena saat itu
hanya kamu yang kumiliki. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang?”
Ku
peluk erat sahabatku dan semakin keras pukulan dalam hidupku. Air mataku deras
mengalir. “Apa salah aku mencintainya?”
Dia
adalah seniorku di SMA. Tidak mudah wanita mendekatinya, sosoknya yang
karismatik dan berwibawa membuatnya menjadi orang nomor satu di sekolah. Ketika
dia memberi materi pada ektrakulikuler keagamaan, aku selalu bermimpi menjadi
wanita yang paling beruntung bisa bersanding dengannya.
“Bahkan
ketika kamu memilih masuk universitas dengan alasan agar bisa tetap bersama Mas
Radit, aku selalu mendukungmu. Padahal aku tahu, kamu begitu kecewa kehilangan
kesempatan belajar ke luar negeri.” Terus ku peluk sahabatku. “Begitu kamu
sayang ke Mas Radit, sampai aku harus rela mengorbankan waktu kita untuknya.
Apakah tidak cukup 4 tahun untuk belajar mengerti kepribadiannya?”
“Baginya
kebahagian orang tuanya lebih berharga daripada cintanya yang hanya sesaat. Apa
kamu akan memperjuangkan mimpi burukmu?”
Pelan-pelan
ku paksa angkat bicara, “Jika aku belum lelah menunggunya, aku akan tetap di
batas garis kemampuanku.”
“Dia
sudah jauh melangkah ke depan. Kamu lihat ibumu, begitu tegar mengahadapi
kerasnya hidup. Dia membesarkanmu sendirian, tanpa lelah. Kamu tahu kenapa dia
begitu kuat dan selalu bersemangat?” Mulutku terkunci, Rani menatapku tajam dan
aku hanya tertunduk dengan tangisan. “Tante hanya ingin melihatmu bahagia. Jika
kamu seperti ini, semua yang dia usahakan terbayar percuma. Harusnya kamu
belajar dari keputusannya Mas Radit. Dia bisa memilih orang tuanya, kenapa kamu
malah berpaling dari ibumu yang sudah memperjuangkanmu?”
“Aku
sudah lelah melihatmu hanya terpuruk kerena cinta semu yang tidak tahu
ujungnya.”
“Kenapa
aku harus mengenalnya, Ran? Dipertemukan tapi untuk dipisahkan?”
“Agar
kamu memahami arti kehidupan,” singkatnya.
“Sekarang
bukan saatnya menangisi apa yang membuatmu sedih, tetapi gunakan air matamu
untuk memperjelas bagaimana dunia berputar. Kamu harus ikhlas melepas, dia
ditakdirkan dengan cinta sejati yang sudah Tuhan pilihkan untuknya. Kalian dipisahkan
bukan karena Tuhan tidak sayang pada kisah cintamu dan Mas Radit, Dia Maha
Penyayang, Maha Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Begitu sayang Dia
denganmu, sampai Dia berusaha memilihkan yang terbaik untukmu.”
“Lihatlah
bulan yang tersenyum itu!” Rani menunjuk ke langit. “Dia tidak pernah mengeluh
dengan takdirnya menerangi malam yang gelap gulita. Dia tidak pernah cemburu
kepada bintang, bahkan tidak mengeluh jika cahaya yang dia agung-agungkan
adalah milik matahari.”
Ku
ikuti perintahnya, bulan malam ini memang begitu memikat. Cantik dan mempesona.
Ketika melihatnya semua beban terasa menghilang dibawa angin. Masalah serasa pergi
jauh dan sangat jauh. Pada bulan terlukis wajah Mas Radit yang tersenyum manis
penuh keikhlasan, tidak sengaja raut wajahku berseri. “Mungkin sudah saatnya
aku melepasmu dalam malam yang penuh bintang?”
“Kamu
sudah memahami hakekat cinta?” Rani memegang pundakku. “Tataplah dengan cermat
betapa besar rasa syukur bulan kepada Sang Pencipta. Dzat yang memberikan ujian
untuk setiap manusia, ujian yang tidak pernah diberikan di luar batas kemampuan
umat-Nya.”
“Sepertinya
aku harus lebih belajar untuk ikhlas,” ujarku sambil melihat Rani. “Begitu
banyak hal yang tidak aku mengerti, begitu banyak orang yang sayang kepadaku
tanpa sepengetahuanku.”
“Sudah
selesai nangisnya? Kamu terlihat jelek kalau nangis? Senyum dong!” Rani
mencubit pipiku, mencoba mencairkan suasana. “Kapan mau wisuda cantik? Aku
sudah tidak sabar melihatmu memakai toga.” Rani tertawa riang dan aku begitu
bahagia mempunyai sahabat terbaik yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Ku peluknya
dengan erat.
“Far,
sudah meluknya, aku gak bisa nafas!”