Jumat, 18 April 2014

Pengorbanan dalam Penantian


Keseimbangan Cahaya
Oleh: Iffatu Masrura Al Hakimi

Komitmen bukan hal yang mudah untuk dipertahankan, ku ratapi bulan purnama. Ku pertajam pemikiranku akan sebuah ikatan. Bulan mempunyai fase-fase yang selalu membuat setiap mata untuk tetap menanti sebuah kesempurnaan.
“Akankah kau melihat bulan yang sama disana?”
Angin malam dengan lembut menyapaku. Lamunanku terhenti, suasana tenang seharusnya tidak berubah. Kini menjadi riuh dan ramai dengan kehadiran Rani.
“Bagaimana skripsimu?”
Ku tersenyum manis, “Masih banyak hal yang ingin aku kerjakan di luar skripsi.”
Rani bernafas panjang mendengarkan jawabanku. “Angin malam tidak baik untuk kesehatanmu. Lebih baik kita masuk ke rumah.”
“Sesekali aku ingin merasakan betapa kejamnya malam, karena aku sudah terlalu bosan berkecimpung menikmati siang.”
Rani paham akan keadaan yang menyelimuti kesibukanku, cukup dengan senyuman dia menanggapi sebuah keluh-kesah yang ku tahan.
“Sampai kapan kamu akan menyiksa dirimu untuk mempertahankan perasaanmu?”
Ku terdiam, ratusan kali Rani mengucap pertanyaan yang tak akan bisa terjawab dengan baik oleh mulutku. “Aku gak tahu apakah ini yang dinamakan cinta, Ran?”
“Aku berulang-ulang mengatakan ke kamu, bahwa tidak ada yang mengerti akan hakekat cinta, tidak juga aku. Aku dan kamu menjalin persahabatan dengan cinta. Hatiku, hatimu, dan hatinya hanya Tuhan yang tahu persis. Aku tak pernah menyuruhmu berhenti mecintainya, tetapi dia sudah menikah dengan orang lain, Far. Apa kamu akan terus menunggu orang yang sudah punya istri?”
“Jika Tuhan menakdirkan kami berjodoh, penantianku tidak akan sia-sia.”
“Sadarlah, Far! Ini adalah dunia nyata bukan sekedar dongeng yang semudah itu selesai. Apa kamu mau dibilang perebut suami orang? Seharusnya setelah dia memutuskan hubungan kalian dan memilih pilihan orang tuanya. Harusnya kamu sadar, cintamu telah berakhir.”
Angin malam yang halus dan sejuk, perlahan tajam menusuk. Pipiku yang awalnya kering tiba-tiba basah. “Aku yang terlalu bodoh dalam memahami arti kehidupan, tapi apa salahnya aku ingin bahagia?” Kalimat yang terbata-bata karena sesak tangis. “Aku terlalu mencintainya, Ran.”
“Kamu menyebutnya cinta? Kamu masih ingat kata-katamu waktu kecil ketika melihatku menangis. Tangisan untuk ibuku yang memilih menikah lagi dan meninggalkanku dan ayah?”
Tangisanku semakin sesenggukkan. Sebentar ku tengok bulan, ku curi tatapannya. Seolah bulan berusaha menenangkanku. “Ini bukan cinta, Far. Kamu terlalu egois dalam bersikap.”
“Waktu itu tangisanku begitu keras. Keras bahkan semakin keras. Kamu memelukku seolah-olah adikku yang polos dan tak mengerti apapun. Kau tetap memelukku meskipun tangisan itu semakin keras.” Ku telusuk kisah masa lalu di saat usiaku menginjak 10 tahun. “Kamu terlalu dewasa di usiamu, Far.”
“Cinta sejati tak mengenal jarak atau keberadaan, tetapi sebuah rasa yang akan selalu melekat dalam sanubarimu. Tangisan tidak akan membuatmu merubah keadaan, tapi menangislah jika itu yang terbaik untukmu. Biarkan cinta yang kau miliki hanya Tuhan yang tahu. Jangan sampai di sisa umurmu, kamu merugi. Cinta akan sesalu ada dalam hidupmu, tetapi kau tak bisa memaksakan cinta untuk memilihmu.” Kata-kata yang keluar dari anak SD ketika menenangkan sahabatnya.
“Aku gak pernah lupa akan sajak yang terdengar jelas di telingaku, karena saat itu hanya kamu yang kumiliki. Tapi apa yang kamu lakukan sekarang?”
Ku peluk erat sahabatku dan semakin keras pukulan dalam hidupku. Air mataku deras mengalir. “Apa salah aku mencintainya?”
Dia adalah seniorku di SMA. Tidak mudah wanita mendekatinya, sosoknya yang karismatik dan berwibawa membuatnya menjadi orang nomor satu di sekolah. Ketika dia memberi materi pada ektrakulikuler keagamaan, aku selalu bermimpi menjadi wanita yang paling beruntung bisa bersanding dengannya.
“Bahkan ketika kamu memilih masuk universitas dengan alasan agar bisa tetap bersama Mas Radit, aku selalu mendukungmu. Padahal aku tahu, kamu begitu kecewa kehilangan kesempatan belajar ke luar negeri.” Terus ku peluk sahabatku. “Begitu kamu sayang ke Mas Radit, sampai aku harus rela mengorbankan waktu kita untuknya. Apakah tidak cukup 4 tahun untuk belajar mengerti kepribadiannya?”
“Baginya kebahagian orang tuanya lebih berharga daripada cintanya yang hanya sesaat. Apa kamu akan memperjuangkan mimpi burukmu?”
Pelan-pelan ku paksa angkat bicara, “Jika aku belum lelah menunggunya, aku akan tetap di batas garis kemampuanku.”
“Dia sudah jauh melangkah ke depan. Kamu lihat ibumu, begitu tegar mengahadapi kerasnya hidup. Dia membesarkanmu sendirian, tanpa lelah. Kamu tahu kenapa dia begitu kuat dan selalu bersemangat?” Mulutku terkunci, Rani menatapku tajam dan aku hanya tertunduk dengan tangisan. “Tante hanya ingin melihatmu bahagia. Jika kamu seperti ini, semua yang dia usahakan terbayar percuma. Harusnya kamu belajar dari keputusannya Mas Radit. Dia bisa memilih orang tuanya, kenapa kamu malah berpaling dari ibumu yang sudah memperjuangkanmu?”
“Aku sudah lelah melihatmu hanya terpuruk kerena cinta semu yang tidak tahu ujungnya.”
“Kenapa aku harus mengenalnya, Ran? Dipertemukan tapi untuk dipisahkan?”
“Agar kamu memahami arti kehidupan,” singkatnya.
“Sekarang bukan saatnya menangisi apa yang membuatmu sedih, tetapi gunakan air matamu untuk memperjelas bagaimana dunia berputar. Kamu harus ikhlas melepas, dia ditakdirkan dengan cinta sejati yang sudah Tuhan pilihkan untuknya. Kalian dipisahkan bukan karena Tuhan tidak sayang pada kisah cintamu dan Mas Radit, Dia Maha Penyayang, Maha Mengetahui apa yang tidak kamu ketahui. Begitu sayang Dia denganmu, sampai Dia berusaha memilihkan yang terbaik untukmu.”
“Lihatlah bulan yang tersenyum itu!” Rani menunjuk ke langit. “Dia tidak pernah mengeluh dengan takdirnya menerangi malam yang gelap gulita. Dia tidak pernah cemburu kepada bintang, bahkan tidak mengeluh jika cahaya yang dia agung-agungkan adalah milik matahari.”
Ku ikuti perintahnya, bulan malam ini memang begitu memikat. Cantik dan mempesona. Ketika melihatnya semua beban terasa menghilang dibawa angin. Masalah serasa pergi jauh dan sangat jauh. Pada bulan terlukis wajah Mas Radit yang tersenyum manis penuh keikhlasan, tidak sengaja raut wajahku berseri. “Mungkin sudah saatnya aku melepasmu dalam malam yang penuh bintang?”
“Kamu sudah memahami hakekat cinta?” Rani memegang pundakku. “Tataplah dengan cermat betapa besar rasa syukur bulan kepada Sang Pencipta. Dzat yang memberikan ujian untuk setiap manusia, ujian yang tidak pernah diberikan di luar batas kemampuan umat-Nya.”
“Sepertinya aku harus lebih belajar untuk ikhlas,” ujarku sambil melihat Rani. “Begitu banyak hal yang tidak aku mengerti, begitu banyak orang yang sayang kepadaku tanpa sepengetahuanku.”
“Sudah selesai nangisnya? Kamu terlihat jelek kalau nangis? Senyum dong!” Rani mencubit pipiku, mencoba mencairkan suasana. “Kapan mau wisuda cantik? Aku sudah tidak sabar melihatmu memakai toga.” Rani tertawa riang dan aku begitu bahagia mempunyai sahabat terbaik yang Tuhan anugerahkan kepadaku. Ku peluknya dengan erat.
“Far, sudah meluknya, aku gak bisa nafas!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar