Hujan lebat menghentikan langkah kita menelusuri jalan setapak. Bangku kosong menemani keheningan di antata aku dan dia. Angin yang menyapa tak dihiraukan, suara air yang jatuh di genteng semakin terdengar keras. Mulutnya tertutup rapat, hasrat yang berusaha aku bangun terhenti. Perlahan hujan mulai reda, udara semakin menusuk dinginnya senja yang tertutup kelabu. Pikirku dalam pandangan yang ku curi. Sosok yang tak pernah membisu, selalu ceria dengan kedewasaan yang membuat hati beku mencair. Sejenak hati kecil berbicara, tak pantas wanita sepertiku terus mendampinginya. Dia ibarat bintang bersinar terang, sebagai bulan aku merasa mengecil. Namun kekawatiranku selalu terhapus dengan perlakuannya selama enam tahun yang sedikitpun tak berubah. Tutur katanya lembut merdu mengalunkan irama yang menggetarkan sanu bari. Komitmennya sangat kuat, tak akan ada sedikitpun yang bisa menggoyahkan laki-laki berketurunan Jawa yang sedang menemani diamku.
Sering mulut mungilku melontarkan pertanyaan yang ditanggapi dengan bercanda. Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku? Jawabannya selalu sama.
”Cinta”
Pelan namun punya kekuatan. Hatiku berhenti dan tak akan dapat membantah. Terhenti untuknya. Dan akankah kata penuh makna yang keluar dari tuturnya terus menghisai hidup yang sepi. Semakin lama waktu berputar, enggan jika harus kehilangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang mebuyarkan lamunanku. ”Kamu kedinginan?” Aku tak menoleh, pandangan kosong ke bawah. Dingin membuatku perlahan menggigil.
Sambil melepaskan jaket yang dikenakan, dia memakaikan ke punggungku. ”Kamu sakit?” Terlihat raut wajahnya cemas. ”Semoga tak terjadi apa-apa.”
”Aku tidak apa-apa,” mencoba menenangkan.
Perasaan yang tak pernah aku harapkan, kacau dan sejuta tanda tanya yang ingin terucap, namun tertahan. Sampai kapan aku akan menyembunyikan keraguanku padanya. Mengambil nafas panjang dan ku bangun keberaanian. Masih dengan pertanyaan yang sama.
”Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku?” Dia senyum sinis. ”Aku tak sanggup kehilangan senyummu.”
”Karena ini kamu mendiamiku?”
Aku mengangkat kepala perlahan dengan pandangan lurus ke depan.
”Kamu berbeda dengan wanita lain yang ku kenal. Kamu pantas mendapatkan cintaku.”
Ketakutan semakin menyelimutiku. ”Jika hubungan kita terhenti, apa yang kamu lakukan?”
Air mata yang berusaha kubenung, tumpah membasahi pipi berlesung pipit. Hembusan angin semakin tajam menusuk tubuhku yang semakin tertunduk. Suara ranting melambai terdengar keras. Cahaya matahari yang mencoba menerobos mendung. Aku dan dia terhalang jarak yang terbangun atas perjanjian tak tertulis, sejak ku mengenalnya tak pernah dia menyentuhku, pegangan tangan hanya sekali, itu pun ketika menyeberangkan dari keramain lalu lintas.
”Apa yang terjadi padamu?”Dia beranjak mengambil air yang terkumpul di bak. Bak yang menadahi cucuran hujan. Kembali dia duduk di sampingku. ”Seandainya aku disuruh menjaga air ini agar tidak habis ditanganku. Aku akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air dalam tengadahku habis. Meskipun bisa kamu lihat sendiri, sebanyak apapun usahaku air ini tetap habis.” Dia terdiam. ”Tidak hanya kamu, aku juga merasa suatu saat perasaan di antara kita akan hilang, tetapi aku tidak akan membiarkan cinta kita seperti air.”
”Apa kamu yakin?”
”Apakah waktu enam tahun tidak bisa meyakinkanmu?”
”Seandainya kamu mengganti air ditanganmu dengan air yang lain. Apakah perasaanmu tetap ada untukku?”
Dia memotong pembicaraan, ”Apapun yang terjadi kelak, cintaku tak akan berubah untukmu.”
***
”Rina apa kabar?” Cium pipi kanan kiri. ”Lama tidak berjumpa.”
”Seperti yang kamu lihat aku masih diberi kesehatan.”
Baru pertama kali aku melihatnya. Jarak yang begitu jauh dan waktu yang sangat lama memisahkan persahabatan. Rasa rindu yang menggunung terobati. Lulus Sekolah Menengah Pertama, dia tak pernah pulang ke rumahnya yang lama. Rumahku terasa sepi, sejak dia memutuskan melanjutkan sekolah di Bandung. Rani teman kecilku, keluarga kitasudah seperti saudara. Di antara kita tidak terlontar kedustaan.
”Kamu sekarang tambah cantik, Rin?”
”Sahabatnya siapa dulu.”
”Mana pacarmu, Rin?”
”Kamu berniat menyindir aku?”
Dari belakang terdengar Ardi memanggil.
Aku mengenalkan Rina ke Ardi dan sebaliknya.
”Jadi dia yang sering kamu ceritakan.”Rina berbisik kepadaku sambil melihat ke Ardi. ”Oh ya Citra, aku mau pulang duluan ke rumah nenekku. Besok dilanjutkan lagi ya nostalgianya.”
”Ke rumah nenekmu? Itu jauh banget.” Kamu melihat Ardi. ”Tolong antar sahabatku ya?”
”Pulangmu bagaimana?” kata Ardi.
”Jangan khawatirkan aku, nanti aku minta jemput Ayah.”
Jalan terlihat sepi, di tepi berjejer pepohonan. Selama di kendaraan Rina hanya diam, Ardi pun bingung mau memulai percakapan. Rina terpana melihat sosok pria yang begitu berkarisma. Tak heran Citra tergila-gila kepadanya. Citra selalu cerita kepadaku tak ingin kehilangannya. Siapa juga yang tidak ingin punya pendamping seperti Ardi. Aku pun jika punya pacar seperti dia pasti akan ku pertahankan selamanya.
”Dari tadi diam saja Mbak?” Ardi mencairkan suasana.
”Lagi melamunin kamu.”
”Aku? Ada yang aneh denganku?”
Rina tertawa, ”Kamu memang lucu seperti yang diceritakan Citra.”
Ardi senyum dan memusatkan perhatiannya ke jalan.
”Kamu tidak berharap putus dengan Citra?”
”Memang kamu mau menggantikan?”
Rina terdiam. Meskipun terdengar Ardi cuma bercanda, tetapi jantungnnya berdenyut kencang. Dia takut perasaan yang mulai tumbuh di hatinya akan menghancurkan persahabatan yang sudah bertahun-tahun dibangun.
Aku tidak tahu dengan siapa harus pulang. Posisi handphone-ku dalamkeadaan kehabisan baterai, tidak ada media yang dapat membantu. Tiba-tiba Ferdi ketua OSIS sekaligus teman sekelasnya menghampirinya. Namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, dia lewat tepat di depanku. Aku tak mengerti duduk perkara di antara kita. Dia selalu diam, mengajak bicara kalau ada kepentingan organisasi. Ku telusuri letak kesalahan serta tutur kata maupun perbuatan selama berinteraksi dengannya. Sampai sekarang hasilnya kosong, masalah kita tak ada.
”Citra kok belum pulang?” sapa senior ekstra kurikulerku.
”Ardi pulang dulu, gak ada yang jemput Mas,” sambil bermuka masam.
”Bareng dengan ku aja.”
”Mau gak sekalian mengantarku beli kado untuk Ardi, Mas?”
”Apa yang tidak untuk adikku tercinta. Kamu masih aja pacaran dengan dia, padahal sudah banyak yang antri menunggumu.”
”Mas kalau bercanda tidak usah berlebihan, nanti helmku tidak muat.”
”Kalau kamu putus bakalan langsung aku tampung.”
”Mas...”
Mas Radit, senior yang sangat suka bercanda. Sempat kita dekat layaknya pacar, tapi sampai kapanpun dia hanya akan menjadi kakak dalam hidupku. Kakak yang selalu dibutuhkan oleh adiknya.
Sesampainya di rumah aku melayangkan sms ke Ardi, menanyakan kabarnya. Sekalian mengajak ketemu dia besok sore pulang sekolah.
***
”Aku tidak mau ada anggota yang keluar sebelum rapat selesai tanpa alasan yang tidak jelas,”ujar ketua OSIS.
Seharusnya aku tak mengikuti rapat dari awal, tidak mungkin aku ijin pulang untuk menemui Ardi. Memaksaku mau tidak mau harus mengikuti rapat sampai akhir. Daripada aku dibilang tidak profesional, lebih baik mengorbankan hari istimewanya, masih ada malam. Segera aku mengabari Ardi. Meskipun jawabannya mengecewakan, agak tidak sependapat karena dia juga mengorbankan latihan basket. Dia berusaha menerima. Aku tetap menjanjikan bertemu setelah magrib di rumah makan biasanya.
Rapat yang seakan diperlambat, daritadi pembicaraan diulur-ulur membuatku semakin bosan. Matahari tenggelam berganti malam, setelah sholat maghrib di masjid sekolah, bergegas dia memesan tempat di rumah makan lesehan Resto.
Sebelum matahari melambaikan tangan, Ardi tidak sengaja bertemu Rina di taman kota. Karena Rina ingat Citra bilang hari ini ulang tahun Ardi, akhirnya dia mengajak cari makan dilanjutkan melihat bioskop. Tak terasa udara malam menelanjangi kesenangan mereka hingga tak terasa jarum jam menunjukkan pukul sebelas. Adit mengantar pulang Rendi, ketika di jalan dia baru ingat meninggalkan janji dengan kekasihnya. Setelah berpamitan ke Rina, dia langsung tancap gas ke tempat janjian. Ketika sampai, terlihat petugas rumah makan sedang menderet pintu.
”Pak, Citra sudah pulang?”
”Sudah, Nak. Barusan aja bareng dengan laki-laki seumuran kalian.”
***
”Lebih baik kita punya jalan masing-masing, air yang berusaha kau jaga sudah benar-benar habis.”
Dia terdiam. Sekuat apapun cinta yang dibangun, namun tak ada yang mengerti maksud dan tujuan pemberi cinta.”Cintaku padamu lebih besar dibanding kepadanya.”
”Cintaku sudah menjadi air seperti yang kamu katakan. Dia lebih pantas mendapatkan tengadahmu. Apalagi dia sahabatku, aku akan sangat mendukung.”
”Apakah ini karena laki-laki yang mengantarmu pulang ketika aku lupa menempati janji?”
Aku mencoba mengingat. Dan aku memang merasa diantar pulang oleh Ferdi, karena dia kasihan melihatku sendirian. Pertama kali aku merasakan nyaman berbicara dengan aktifis sekolah, Ferdi yang aku kira cuek dan sombong ternyata orangnya asyik.
”Citra, aku lihat dari tadi duduk penuh kecemasan.Ada apa?” Aku terdiam sedikit terkejut melihat Ferdi menghampiri. ”Kamu kenapa diam?” Pikiranku menelusuri benaknya. ”Kenapa canggung?”
”Kalau mau ngobrol santai, duduk aja.”
”Nanti cowokmu marah?” Aku hanya senyum sinis. ”Kamu kaku banget sama aku? Oke...Sebelumnya aku minta maaf hampir dua tahun mendiamimu. Sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu.” Semakin dibuatnya bingung. ”Santai aja, Citra. Jujur aku sampai sekarang memendam perasaan ke kamu, namun aku berusaha menghindar.” Keterkejutanku semakin tak terkendali. ”Tapi melihat keseriusanmu, mendengar cerita tentang hubungan kalian, bahkan aku sudah menguji kesetiaan hubungan kalian dengan mangadakan rapat tak terduga, rapat yang bakalan menyita waktumu.” Nadiku berhenti sesaat, mendengar dia bicara tentang rapat. Seakan mempermainkan hubunganku, membuatku marah namun berusaha ku netralkan. Diam,tindakantepat. ”Aku sangat salut dengan komitmen kalian. Sekarang aku sadar cinta tak harus memiliki. Hubungan kalian patut diapresiasikan.”
Dari pembicaraan yang tak ku sangka sebelumnya, membuka lembaran baru. Ternyata apa yang aku nilai belum tentu tepat.
”Karena dia kau minta hubungan kita dihentikan?” lantunannya membuyarkan lamumanku. Baru pertama kali aku melihat emosinya tak terkontrol.
”Lebih tepatnya karena cinta.”
”Kamu mencintainya?”
”Akankah pertemuan semalam merubah masa enam tahun yang sudah aku percayakan ke kamu? Malam itu juga terakhir aku berkomunikasi dengan Ferdi. Selanjutnya hubungan kita seperti biasa, cuma dia tidak cuek lagi.”
”Kamu yang bilang tidak ingin kehilangan senyumku?”
”Melihatmu bahagia dan masih tetap tersenyum untukku, aku tak akan merasa kehilangan.”
”Kau menghendaki aku dengan sahabatmu. Kamu tidak sakit?” Pertanyaan yang membuatku terpojok. Aku hanya tertunduk menangis.
”Sejak kecil dia selalu mengalah. Semua yang aku minta dia yang melengkapi.”
Minggu kemarin tiba-tiba Rina mengunjungi gubukku. Dengan senang hati, keluargaku yang sudah menganggapnya anak menyambut dengan suka cita. Aku langsung mengajaknya ke kamar.
”Citra aku boleh bicara sesuatu.” Kepalaku mengangguk. ”Tapi jangan marah?” Kedua kalinya menganggukkan kepala mengisyaratkan persetujuan. Aku selaluwelcome mendengar ceritanya. ”Sejak aku dilahirkan, kemudian tumbuh perlahan bersamamu. Aku merasakan jiwa sahabat sejati dalam dirimu. Sedikitpun aku berusaha tak minta apapun darimu.” Suasana semakin serius. ”Ini pertama kali aku meminta ke kamu. Bolehkan aku minta cintamu, meskipun tidak utuh?”
”Aku tak mengerti dengan permintaanmu.”
”Aku mencintai Ardi.”
Aku sangat kaget dan hatiku terasa tertuduk ribuan duri. Sanggupkan aku berbagi cinta dengan sahabatku?
”Kamu bercanda?” berusaha meyakinkan.
”Mungkin kita pernah berjanji tidak akan menyukai laki-laki yang sama. Kamu sudah bisa menilai mana yang bercanda dan mana yang serius.”
Ku ceritakan ke Ardi kejadian terakhir bertemu Rina sebelum kembali ke Bandung. Aku tak bisa berpikir apapun dan hanya mengiyakan. Hal yang dapat aku lakukan.
”Dan dari situlah aku putuskan membiarkan hubungan kita seperti air yang mengalir. Aku tak meminta putus atau menyuruhmu menjauhiku. Aku tak mau persahabatanku rusak karena cinta. Hidup itu butuh pengorbanan dengan memilih, aku hanya minta hubungan kita tak perlu status.”
”Apa bedanya dengan putus?”
”Sekali lagi aku tak minta putus.” Dia berdiri dari duduknya, namun aku tak ingin emosinya bertambah. Ku tenangkan dan perlahan ku dudukkan kembali. ”Jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam, jika aku diberi kebebasan menjawab pertanyaan Rina, aku pasti menjawab hatiku satu dan akan tetap satu selamanya, secuilpunaku enggan berbagi.”
”Ardi aku sangat mencintaimu, karena itu biarkan takdir yang berbicara. Masa depan kita masih panjang. Aku akan menunggu dalam penantian. Aku memberikan kebebasan kau memilih samudera untuk kau arungi. Sebaliknya jangan paksa aku menutup ikan yang akan mengarungi samuderaku.”
”Aku akan buktikan, cintaku tak akan mati,” janji Ardi.
”Jadi teman?” ujarku sambil menyodorkan jari kelingking.
Tersentak dalam bisu. Pertama kali Ardi memelukku dengan tangis.
***
Sering mulut mungilku melontarkan pertanyaan yang ditanggapi dengan bercanda. Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku? Jawabannya selalu sama.
”Cinta”
Pelan namun punya kekuatan. Hatiku berhenti dan tak akan dapat membantah. Terhenti untuknya. Dan akankah kata penuh makna yang keluar dari tuturnya terus menghisai hidup yang sepi. Semakin lama waktu berputar, enggan jika harus kehilangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang mebuyarkan lamunanku. ”Kamu kedinginan?” Aku tak menoleh, pandangan kosong ke bawah. Dingin membuatku perlahan menggigil.
Sambil melepaskan jaket yang dikenakan, dia memakaikan ke punggungku. ”Kamu sakit?” Terlihat raut wajahnya cemas. ”Semoga tak terjadi apa-apa.”
”Aku tidak apa-apa,” mencoba menenangkan.
Perasaan yang tak pernah aku harapkan, kacau dan sejuta tanda tanya yang ingin terucap, namun tertahan. Sampai kapan aku akan menyembunyikan keraguanku padanya. Mengambil nafas panjang dan ku bangun keberaanian. Masih dengan pertanyaan yang sama.
”Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku?” Dia senyum sinis. ”Aku tak sanggup kehilangan senyummu.”
”Karena ini kamu mendiamiku?”
Aku mengangkat kepala perlahan dengan pandangan lurus ke depan.
”Kamu berbeda dengan wanita lain yang ku kenal. Kamu pantas mendapatkan cintaku.”
Ketakutan semakin menyelimutiku. ”Jika hubungan kita terhenti, apa yang kamu lakukan?”
Air mata yang berusaha kubenung, tumpah membasahi pipi berlesung pipit. Hembusan angin semakin tajam menusuk tubuhku yang semakin tertunduk. Suara ranting melambai terdengar keras. Cahaya matahari yang mencoba menerobos mendung. Aku dan dia terhalang jarak yang terbangun atas perjanjian tak tertulis, sejak ku mengenalnya tak pernah dia menyentuhku, pegangan tangan hanya sekali, itu pun ketika menyeberangkan dari keramain lalu lintas.
”Apa yang terjadi padamu?”Dia beranjak mengambil air yang terkumpul di bak. Bak yang menadahi cucuran hujan. Kembali dia duduk di sampingku. ”Seandainya aku disuruh menjaga air ini agar tidak habis ditanganku. Aku akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air dalam tengadahku habis. Meskipun bisa kamu lihat sendiri, sebanyak apapun usahaku air ini tetap habis.” Dia terdiam. ”Tidak hanya kamu, aku juga merasa suatu saat perasaan di antara kita akan hilang, tetapi aku tidak akan membiarkan cinta kita seperti air.”
”Apa kamu yakin?”
”Apakah waktu enam tahun tidak bisa meyakinkanmu?”
”Seandainya kamu mengganti air ditanganmu dengan air yang lain. Apakah perasaanmu tetap ada untukku?”
Dia memotong pembicaraan, ”Apapun yang terjadi kelak, cintaku tak akan berubah untukmu.”
***
”Rina apa kabar?” Cium pipi kanan kiri. ”Lama tidak berjumpa.”
”Seperti yang kamu lihat aku masih diberi kesehatan.”
Baru pertama kali aku melihatnya. Jarak yang begitu jauh dan waktu yang sangat lama memisahkan persahabatan. Rasa rindu yang menggunung terobati. Lulus Sekolah Menengah Pertama, dia tak pernah pulang ke rumahnya yang lama. Rumahku terasa sepi, sejak dia memutuskan melanjutkan sekolah di Bandung. Rani teman kecilku, keluarga kitasudah seperti saudara. Di antara kita tidak terlontar kedustaan.
”Kamu sekarang tambah cantik, Rin?”
”Sahabatnya siapa dulu.”
”Mana pacarmu, Rin?”
”Kamu berniat menyindir aku?”
Dari belakang terdengar Ardi memanggil.
Aku mengenalkan Rina ke Ardi dan sebaliknya.
”Jadi dia yang sering kamu ceritakan.”Rina berbisik kepadaku sambil melihat ke Ardi. ”Oh ya Citra, aku mau pulang duluan ke rumah nenekku. Besok dilanjutkan lagi ya nostalgianya.”
”Ke rumah nenekmu? Itu jauh banget.” Kamu melihat Ardi. ”Tolong antar sahabatku ya?”
”Pulangmu bagaimana?” kata Ardi.
”Jangan khawatirkan aku, nanti aku minta jemput Ayah.”
Jalan terlihat sepi, di tepi berjejer pepohonan. Selama di kendaraan Rina hanya diam, Ardi pun bingung mau memulai percakapan. Rina terpana melihat sosok pria yang begitu berkarisma. Tak heran Citra tergila-gila kepadanya. Citra selalu cerita kepadaku tak ingin kehilangannya. Siapa juga yang tidak ingin punya pendamping seperti Ardi. Aku pun jika punya pacar seperti dia pasti akan ku pertahankan selamanya.
”Dari tadi diam saja Mbak?” Ardi mencairkan suasana.
”Lagi melamunin kamu.”
”Aku? Ada yang aneh denganku?”
Rina tertawa, ”Kamu memang lucu seperti yang diceritakan Citra.”
Ardi senyum dan memusatkan perhatiannya ke jalan.
”Kamu tidak berharap putus dengan Citra?”
”Memang kamu mau menggantikan?”
Rina terdiam. Meskipun terdengar Ardi cuma bercanda, tetapi jantungnnya berdenyut kencang. Dia takut perasaan yang mulai tumbuh di hatinya akan menghancurkan persahabatan yang sudah bertahun-tahun dibangun.
Aku tidak tahu dengan siapa harus pulang. Posisi handphone-ku dalamkeadaan kehabisan baterai, tidak ada media yang dapat membantu. Tiba-tiba Ferdi ketua OSIS sekaligus teman sekelasnya menghampirinya. Namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, dia lewat tepat di depanku. Aku tak mengerti duduk perkara di antara kita. Dia selalu diam, mengajak bicara kalau ada kepentingan organisasi. Ku telusuri letak kesalahan serta tutur kata maupun perbuatan selama berinteraksi dengannya. Sampai sekarang hasilnya kosong, masalah kita tak ada.
”Citra kok belum pulang?” sapa senior ekstra kurikulerku.
”Ardi pulang dulu, gak ada yang jemput Mas,” sambil bermuka masam.
”Bareng dengan ku aja.”
”Mau gak sekalian mengantarku beli kado untuk Ardi, Mas?”
”Apa yang tidak untuk adikku tercinta. Kamu masih aja pacaran dengan dia, padahal sudah banyak yang antri menunggumu.”
”Mas kalau bercanda tidak usah berlebihan, nanti helmku tidak muat.”
”Kalau kamu putus bakalan langsung aku tampung.”
”Mas...”
Mas Radit, senior yang sangat suka bercanda. Sempat kita dekat layaknya pacar, tapi sampai kapanpun dia hanya akan menjadi kakak dalam hidupku. Kakak yang selalu dibutuhkan oleh adiknya.
Sesampainya di rumah aku melayangkan sms ke Ardi, menanyakan kabarnya. Sekalian mengajak ketemu dia besok sore pulang sekolah.
***
”Aku tidak mau ada anggota yang keluar sebelum rapat selesai tanpa alasan yang tidak jelas,”ujar ketua OSIS.
Seharusnya aku tak mengikuti rapat dari awal, tidak mungkin aku ijin pulang untuk menemui Ardi. Memaksaku mau tidak mau harus mengikuti rapat sampai akhir. Daripada aku dibilang tidak profesional, lebih baik mengorbankan hari istimewanya, masih ada malam. Segera aku mengabari Ardi. Meskipun jawabannya mengecewakan, agak tidak sependapat karena dia juga mengorbankan latihan basket. Dia berusaha menerima. Aku tetap menjanjikan bertemu setelah magrib di rumah makan biasanya.
Rapat yang seakan diperlambat, daritadi pembicaraan diulur-ulur membuatku semakin bosan. Matahari tenggelam berganti malam, setelah sholat maghrib di masjid sekolah, bergegas dia memesan tempat di rumah makan lesehan Resto.
Sebelum matahari melambaikan tangan, Ardi tidak sengaja bertemu Rina di taman kota. Karena Rina ingat Citra bilang hari ini ulang tahun Ardi, akhirnya dia mengajak cari makan dilanjutkan melihat bioskop. Tak terasa udara malam menelanjangi kesenangan mereka hingga tak terasa jarum jam menunjukkan pukul sebelas. Adit mengantar pulang Rendi, ketika di jalan dia baru ingat meninggalkan janji dengan kekasihnya. Setelah berpamitan ke Rina, dia langsung tancap gas ke tempat janjian. Ketika sampai, terlihat petugas rumah makan sedang menderet pintu.
”Pak, Citra sudah pulang?”
”Sudah, Nak. Barusan aja bareng dengan laki-laki seumuran kalian.”
***
”Lebih baik kita punya jalan masing-masing, air yang berusaha kau jaga sudah benar-benar habis.”
Dia terdiam. Sekuat apapun cinta yang dibangun, namun tak ada yang mengerti maksud dan tujuan pemberi cinta.”Cintaku padamu lebih besar dibanding kepadanya.”
”Cintaku sudah menjadi air seperti yang kamu katakan. Dia lebih pantas mendapatkan tengadahmu. Apalagi dia sahabatku, aku akan sangat mendukung.”
”Apakah ini karena laki-laki yang mengantarmu pulang ketika aku lupa menempati janji?”
Aku mencoba mengingat. Dan aku memang merasa diantar pulang oleh Ferdi, karena dia kasihan melihatku sendirian. Pertama kali aku merasakan nyaman berbicara dengan aktifis sekolah, Ferdi yang aku kira cuek dan sombong ternyata orangnya asyik.
”Citra, aku lihat dari tadi duduk penuh kecemasan.Ada apa?” Aku terdiam sedikit terkejut melihat Ferdi menghampiri. ”Kamu kenapa diam?” Pikiranku menelusuri benaknya. ”Kenapa canggung?”
”Kalau mau ngobrol santai, duduk aja.”
”Nanti cowokmu marah?” Aku hanya senyum sinis. ”Kamu kaku banget sama aku? Oke...Sebelumnya aku minta maaf hampir dua tahun mendiamimu. Sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu.” Semakin dibuatnya bingung. ”Santai aja, Citra. Jujur aku sampai sekarang memendam perasaan ke kamu, namun aku berusaha menghindar.” Keterkejutanku semakin tak terkendali. ”Tapi melihat keseriusanmu, mendengar cerita tentang hubungan kalian, bahkan aku sudah menguji kesetiaan hubungan kalian dengan mangadakan rapat tak terduga, rapat yang bakalan menyita waktumu.” Nadiku berhenti sesaat, mendengar dia bicara tentang rapat. Seakan mempermainkan hubunganku, membuatku marah namun berusaha ku netralkan. Diam,tindakantepat. ”Aku sangat salut dengan komitmen kalian. Sekarang aku sadar cinta tak harus memiliki. Hubungan kalian patut diapresiasikan.”
Dari pembicaraan yang tak ku sangka sebelumnya, membuka lembaran baru. Ternyata apa yang aku nilai belum tentu tepat.
”Karena dia kau minta hubungan kita dihentikan?” lantunannya membuyarkan lamumanku. Baru pertama kali aku melihat emosinya tak terkontrol.
”Lebih tepatnya karena cinta.”
”Kamu mencintainya?”
”Akankah pertemuan semalam merubah masa enam tahun yang sudah aku percayakan ke kamu? Malam itu juga terakhir aku berkomunikasi dengan Ferdi. Selanjutnya hubungan kita seperti biasa, cuma dia tidak cuek lagi.”
”Kamu yang bilang tidak ingin kehilangan senyumku?”
”Melihatmu bahagia dan masih tetap tersenyum untukku, aku tak akan merasa kehilangan.”
”Kau menghendaki aku dengan sahabatmu. Kamu tidak sakit?” Pertanyaan yang membuatku terpojok. Aku hanya tertunduk menangis.
”Sejak kecil dia selalu mengalah. Semua yang aku minta dia yang melengkapi.”
Minggu kemarin tiba-tiba Rina mengunjungi gubukku. Dengan senang hati, keluargaku yang sudah menganggapnya anak menyambut dengan suka cita. Aku langsung mengajaknya ke kamar.
”Citra aku boleh bicara sesuatu.” Kepalaku mengangguk. ”Tapi jangan marah?” Kedua kalinya menganggukkan kepala mengisyaratkan persetujuan. Aku selaluwelcome mendengar ceritanya. ”Sejak aku dilahirkan, kemudian tumbuh perlahan bersamamu. Aku merasakan jiwa sahabat sejati dalam dirimu. Sedikitpun aku berusaha tak minta apapun darimu.” Suasana semakin serius. ”Ini pertama kali aku meminta ke kamu. Bolehkan aku minta cintamu, meskipun tidak utuh?”
”Aku tak mengerti dengan permintaanmu.”
”Aku mencintai Ardi.”
Aku sangat kaget dan hatiku terasa tertuduk ribuan duri. Sanggupkan aku berbagi cinta dengan sahabatku?
”Kamu bercanda?” berusaha meyakinkan.
”Mungkin kita pernah berjanji tidak akan menyukai laki-laki yang sama. Kamu sudah bisa menilai mana yang bercanda dan mana yang serius.”
Ku ceritakan ke Ardi kejadian terakhir bertemu Rina sebelum kembali ke Bandung. Aku tak bisa berpikir apapun dan hanya mengiyakan. Hal yang dapat aku lakukan.
”Dan dari situlah aku putuskan membiarkan hubungan kita seperti air yang mengalir. Aku tak meminta putus atau menyuruhmu menjauhiku. Aku tak mau persahabatanku rusak karena cinta. Hidup itu butuh pengorbanan dengan memilih, aku hanya minta hubungan kita tak perlu status.”
”Apa bedanya dengan putus?”
”Sekali lagi aku tak minta putus.” Dia berdiri dari duduknya, namun aku tak ingin emosinya bertambah. Ku tenangkan dan perlahan ku dudukkan kembali. ”Jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam, jika aku diberi kebebasan menjawab pertanyaan Rina, aku pasti menjawab hatiku satu dan akan tetap satu selamanya, secuilpunaku enggan berbagi.”
”Ardi aku sangat mencintaimu, karena itu biarkan takdir yang berbicara. Masa depan kita masih panjang. Aku akan menunggu dalam penantian. Aku memberikan kebebasan kau memilih samudera untuk kau arungi. Sebaliknya jangan paksa aku menutup ikan yang akan mengarungi samuderaku.”
”Aku akan buktikan, cintaku tak akan mati,” janji Ardi.
”Jadi teman?” ujarku sambil menyodorkan jari kelingking.
Tersentak dalam bisu. Pertama kali Ardi memelukku dengan tangis.
***
kisah cinta yang rumit untuk kumengerti... hmmm...
BalasHapuslumayan menghayal saat membaca. hehehe :D