Jumat, 02 Agustus 2013

DIA, DI ANTARA BATAS MIMPI


Pertama kali dia mengenalkan daerah asalnya ke kalayak umum, guna memenuhi tugas kebudayaan Indonesia. Dia tak tahu kalimat apa yang pantas untuk mengawali presentasinya.
”Kisah Panji Laras dan Panji Liris yang dipinang putri Adipati Kediri merupakan salah satu cerita yang tidak asing di telinga masyarakat Lamongan.” Rahma memulai berdongen di depan kelas. Serentak teman-temannya antusias mendengar kata demi kata yang dia lantunkan. ”Cerita menyebutkan bahwa pernikahan mereka karena adanya indikasi politik terhadap wilayah Lamongan.”
Tiba-tiba di sela-sela pemaparannya, pintu bergaya Belanda terbuka perlahan. Suara pintu bercat abu-abu itu membuyarkan perhatian para mahasiswa yang serius mendengarkan cerita wanita mungil berkerudung putih. Secepatnya Ayu menutup pintu dan langsung nimbrung duduk dikursi paling pojok belakang. Bu Irma memperlisahkan Rahma melanjutkan tugas presentasi tradisi lisan. Rahma yang sudah terbiasa berbicara di depan audien langsung dengan mudah mengondisikan ruangan. 
”Bupati Lamongan selaku ayah Panji Laras dan Liris mengajukan syarat kepada Putri Andanwangi dan Andansari sebagai pelamar sekaligus mempelai perempuan untuk bersedia menjadi muallaf dan membawa gentong air serta alas tikar yang terbuat dari batu ketika pernikahan akan berlangsung.” Diambilnya foto yang sejak tadi berada di meja dosen, dia tunjukkan bukti artefak berupa foto gentong air dan alas tikat yang terbuat dari batu. Foto tersebut diambil di masjid agung Lamongan. ”Namun ketika dua putri kembar tersebut hendak menyeberang sungai, mereka mengangkat kainnya hingga ke paha agar tidak basah, terlihat betis mereka berbulu lebat seperti bulu kuda. Panji Laras dan Panji Liris yang ditugasi menjemput Putri Andanwangi dan Putri Andansari langsung membatalkan pernikahan melihat kejadian tersebut.”
”Putri Andanwangi dan Putri Andansari mendengar berita tersebut merasa terhina, kemudian bunuh diri. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sehingga sampai bunuh diri, orang-orang Kediri sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris, sehingga perang pun tak bisa terhindarkan lagi. Melihat nyawa Panji Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Ki Patih Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, sehingga akhirnya Ki Patih Mbah Sabilan harus tewas dalam rangka melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris. Setelah patihnya tewas, orang-orang Lamongan pun semakin terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji Liris pun ikut tewas tanpa diketahui jenazahnya.”
”Tidak puas hanya menewaskan Ki Patih Mbah Sabilan serta Panji Laras dan Panji Liris, orang-orang Kediri itu pun semakin merangsek maju bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten, Bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Bupati Lamongan sempat berpesan agar nanti anak cucunya tidak boleh menikah dengan orang Kediri.”
Ketika dibuka sesi tanya jawab banyak mahasiswa yang tertarik, terlontar sebuah pertanyaan yang membuatnya kehilangan mood. ”Dengan adanya cerita tersebut apa akibat yang terjadi di masyarakat Lamongan dan Kediri sekarang?”
Suaranya lirih, berat untuk didengarkan. ”Dengan adanya cerita tersebut muncullah mitos larangan menikah antara orang Lamongan dan Kediri, masyarakat percaya jika dilanggar akan membawa malapetaka. Tetapi, kembali ke pribadi masing-masing, kalau aku tak ingin mempercayainya. Jodoh sudah diatur oleh-Nya.”
Setelah mata kuliah kebudayaan Indonesia selesai, Rahma bergegas menuju parkiran, dia terus melangkah maju tanpa menghiraukan panggilan Ayu. Dia berencana pergi ke stasiun, guna membeli tiket sebelum kehabisan. Dia tak mau mebuang waktu sia-sia. Ayu berlari menghampiri Rahma yang sedang kerepotan memasang helm.
Sambil menepuk bahu Rahma, Ayu bertanya dengan semangat, ”Kamu beneran mau pulang hanya untuk acara seperti itu?”
Rahma hanya tersenyum manis.
”Aku boleh ikut gak?” Sambungnya. 
Akhirnya terpaksa Rahma memesan dua tiket kereta logawa ekonomi untuk Sabtu pagi tujuan Stasiun Gubeng. Dua lembar tiket dimasukkan ke dalam dompet, mereka kemudian tancap gas mengarah ke pusat perbelanjaan jam tangan.
”Kalau kamu besok ngaret aku gak mau nunggu,” tegur Rahma kepada sahabatnya.
Dengan gaya yang khas dari Ayu, dia menjawab, ”Aku juga tahu, Cantik. Tenang saja untuk kali ini aku akan ontime. Aku gak akan merusak hari istimewamu.”
Hari yang tertera pada tiket kereta yang mereka pesan akhirnya tiba juga, perjalanan ke Surabaya begitu melelahkan bagi Rahma dan Ayu. Bau Surabaya tercium tidak asing lagi di hidung Rahma, suasana Surabaya tidak berubah, panas, jalanan sesak penuh dengan kendaraan yang lalu lalang. Sejak duduk di kursi kereta Ayu terlelap, ketika membuka mata mulutnya nerocos terus dengan sejuta keluhan. Rahma hanya bernafas panjang menghadapi sahabatnya yang setia menemani tiga tahun lebih masa kuliahnya. Persahabatan mereka terjalin setelah pertemuan pertama yang menyedihkan bagi Rahma. Waktu itu tanpa sengaja kaki Ayu menginjak kacamata kesayangan Rahma, tetapi berkat kejadian itulah tali persaudaan terikat. Rahma tak pernah marah ketika Ayu selalu menjailinya, terasa aneh jika percandaan mereka hilang. Ayu sangat kagum melihat sosok wanita tegar, tak pernah terlontarkan kedustaan di setiap tutur kata, dan kesetiaan yang ada pada diri Rahma. Tak banyak wanita punya komitmen sekuat dia.
Ayu tak berani bertanya apapun pada Rahma, dia mengikuti bayangannya. Rahma terhenti menoleh sebelah kiri, tangannya melambai menghentikan angkutan yang mengarah ke rumah sakit Dr. Soetomo.
”Kita ke kos temanku dulu, Yuli.” Rahma lirih berbisik memberitahu Ayu.
”Kamu sudah siapkan apa saja yang dibutuhkan?” Rahma mengangguk, tanda mengiyakan. ”Sementara ini skenariomu berjalan?” Kedua kali kepalanya mengangguk.
”Setelah adzan magrib kira baru berangkat.”
Berbeda dengan negara-negara yang miskin akan seruan sholat, di tanah air bersaut-sautan berebut memanggil umat manusia untuk mendirikan salah satu rukun islam. Ayu dan Yuli bergegas menunaikan ibadah, sedangkan Rahma dalam masa menstruasinya sibuk menata kue yang dibelinya tadi.
Dia membuka pintu, nyanyian terdengar.
Happy birthday to you...Happy birthday to you...Happy birthday happy birthday...Happy birthday to you.
Terdiam terpana melihat Rahma berada di depannya. Tak pernah terpikir diusianya yang ke 25 tahun, wanita yang biasa ditemuinya sekali dalam setahun kini datang dihadapannya. ”Aku gak mimpi?”
”Selamat ulang tahun Mas...” menyodorkan kue yang atasnya terdapat lilin berbentuk angka 25. ”Berdo’alah untuk kebaikan Mas.”
Laki-laki berperawakan tinggi bersih berpakaian santai memejamkan mata seraya memanjatkan berjuta permohonan, tiupan dari mulutnya mengakhiri nyala api memadamkan lilin.
Malam Minggu di kota yang tak pernah sepi dengan aktivitas kehidupan, dia merayakan ulang tahun bersama beberapa teman kos dan teman Rahma, yang terpenting dia ditemani orang yang paling spesial. Malam semakin larut, bulan punama terlihat terang. Cuaca cerah bersahabat. Rahma beranjak dari duduk mengambil minum di belakang.
Dia menghampiri Rahma. ”Adik cepat lulus ya, Mas tak sabar melihatmu memakai toga dan bersanding menemani hidup Mas. Mas janji di saat Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan bunga terindah adalah Mas. Dengan kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
”Mas...”
”Kapan kau mengenalkan aku pada orang tuamu?” Rahma membisu. ”Hubungan kita bukan permainan lagi. Adik juga sebentar lagi mengenakan toga. Apa salahnya jika Mas meminta keberlanjutan diantara kita?”
Hati Rahma tak tenang, dihari bahagia kekasihnya yang merayakan tanggal kelahiran, dia malah dipenuhi dengan kebimbangan. Entah kenapa ada firasat buruk yang manghampiri, berusaha ia hilangkan namun semaking menguasai jiwanya.
”Apa Adik tidak mencintai Mas?” Dia memulai pembicaraan lagi.
”Dengan semua pengorbanan dan penantian sejauh ini, apakah belum memantabkan keyakinan Mas?”
”Enam tahun Mas mengatakan cinta untukmu, tapi tak sekalipun kau sebutkan nama Mas dalam daftar calon suamimu pada Ayah dan Ibumu.” Dia bernafas panjang, ”Itukah yang disebut penantian?”
Rahma tak dapat menjawab pertanyaan itu dan ijin undur diri dari kediaman kekasihnya. Senja yang menjadi kelabu, cinta yang indah berubah tak menentu.
Perjalanannya kembali ke Yogyakarta diselimuti ketidaktenangan. Ayu pun tak berani mengajak bicara, dia sangat kenal dengan sahabatnya ketika sedang diselimuti kebimbangan. Dia lebih senang mendiamkan dulu teman karibnya untuk bisa berpikir jernih, baru kemudian diajak berdiskusi. Bukan waktu yang tepat untuk mencampuri urusan sahabatnya.                                                            
Selang beberapa minggu setelah kepergiannya ke Surabaya, dia semakin termenung. Di saat kegelisahannya, tiba-tiba Handphone di saku baju Rahma sebelah kiri berdering. Tertulis nama, ”Bunda.”
Nduk, bulan depan tolong pulang ke rumah ada hal yang penting ingin Ayah dan Bunda omongkan. Bunda gak mau ada alasan.”
”Tapi...” belum selesai bicara Bunda memutuskan telepon. ”...Aku bulan depan jadi pemateri di acara bulan bahasa.”
Bunda selalu begitu, semaunya sendiri. Rahma begitu bingung dengan semua masalah yang dalam waktu dekat ini menimpanya, belum lagi dedline menyeleasikan skripsi. Tak tahu dengan siapa dia harus berbagi curahan, sahabatnya juga pasti sedang banyak kegiatan dan tugasnya menjadi mahasiswa semester akhir.
”Bunda tak biasanya menyuruhku pulang tanpa penjelasan.”
”Berpikir positif mungkin Bundamu tidak bisa menceritakan lewat telepon. Jangan kecewakan permintaannya. Sejak aku mengenalmu kau selalu menurut.” Ayu meredakan emosi Rahma yang terus tak terarah.
”Dengan mengorbankan janjiku pada kalangan umum?”
”Banyak yang bisa menggantikanmu. Masalah keluarga tetap yang paling utama.”
”Kamu memang sahabatku yang terbaik.”
Angin terdengar semilir melewati dua wanita yang duduk di kursi berwarna putih. Suara kendaraan yang lewat terdengar keras. Sejak kepulangan mereka dari Surabaya, Rahma menjadi pendiam.
Ayu mengangkat suara kembali, ”Aku lihat hubungan kalian mulai renggang.” Rahma menundukkan kepala mencoba mengalihkan pembicaraan. ”Apa sampai di sini hubungan kalian? Sekarang kamu tertutup tak pernah sepatah katapun mencerikan kelanjutan hubungan kalian. Inikah arti persahabatan?”
”Aku terlalu mencintainya, Yu. Tak sanggup aku berpisah dengannya.”
”Masalahmu dimana?”
Bus dengan kecepatan penuh melaju ke Jawa timur. Dia putuskan untuk mencari pengganti tutor dalam acara bulan bahasa. Jika dia tak penuhi permintaan Bundanya, bisa-bisa pengakuan anak akan hilang. Begitu banyak pertanyaan yang terpikir dalam otaknya, sebegitu penting kehadirannya dalam acara keluarga hingga dia harus absen kuliah beberapa hari. Setelah lelah dalam perjalanan, akhirnya dia sampai di rumah tercinta.
”Karena ini Bunda menyuruhku pulang,” penuh kekecewaan.
”Apa dia kurang tampan? Dia dosen salah satu universitas terkenal di Malang dan pengusaha, Nduk. Apa dia kurang mapan? Dia dari keluarga baik-baik. Apa kurangnya?”
”Cinta,” singkatnya.
”Bunda dan Ayahmu tak mengenal pacaran, cinta kita dibangun setelah menikah. Buktinya kita hidup rukun.” Bunda tak pernah mau dibantah.
”Dengan tidak menganggap Mas Adit sebagai bagian dari keluarga, apakah bisa dikatakan rukun?” Air mata Rahma perlahan menetes.
”Kamu ingin jadi anak durhaka? Membangkan pada orang tua?”
”Haruskah aku hidup di zaman Bunda yang semuanya harus diatur orang tua dan adat istiadat.”
”Kau ingin jadi seperti Masmu? Menganggap tak pernah punya keluarga? Jangan-jangan...”
Rahma terdiam.
”Kau berharap menikah dengan calon dokter yang sedang mangambil profesi di Surabaya itu, orang dari Kediri yang sering kau ceritakan?” Rahma tak menjawab. ”Bukti dari Masmu belum cukup?” Rahma semakin terpojok dan berusaha menahan air mata, meskipun tak terbendung juga. ”Masmu tak pernah menuruti perkataan Bunda. Jangan anggap sepele kepercayaan yang ada di masyarakat. Memaksakan kehendak dengan menikahi wanita gak jelas asal usulnya, mengaku perempuan baik-baik, terpandang dan terpelajar, akhirnya cerai juga. Dan sekarang Masmu lontang lantung gak punya tujuan hidup. Seperti itukah yang kau harapkan?” Bunda duduk mendekat di samping Rahma dan membelai rambutnya. Bunda berbicara lirih, ”Nduk, Bunda sangat menyayangimu. Satu-satunya harapan keluarga hanya di kamu. Cukup Ayah dan Bunda kehilangan Mas Adit.”
Air matanya terus mengalir. ”Dia laki-laki yang baik, Bun. Profesinya dokter, Bunda sering bilang ingin punya menantu dokter. Kita keluarga yang terpelajar. Hanya karena kita masih punya garis keturunan Bupati yang mati entah benar atau salah karena dibunuh orang Kediri, haruskah mempercayai mitos yang gak jelas kebenarannya. Hidup, mati, rezeki dan jodoh hanya Allah yang menentukan, Bun.”
Ayah angkat bicara, ”Seperti ini Bun didikanmu? Jadi anak pembangkang. Jauh-jauh Ayah menguliahkan kamu ke universitas ternama di Yogyakarta. Seperti ini balasanmu, Nduk?” Rahma memeluk Bunda. ”Apakah cintamu ke lelaki itu melebihi penghormatanmu kepada kami? Bukan karena Ayah atau Bundamu percaya akan kepercayaan tersebut. Selagi kita bisa menghindari kenapa tidak. Masmu dulu juga membantah. Apa dia sekarang bahagia?”
”Ayah tidak melarang kau menikah dengan dokter berdarah Kediri itu, tetapi Ayah sangat kecewa jika kau menolak lamaran Nak Arya.”
Kalimat terakhir Ayah bernada pemaksaan.
Rahma tak tahu penjelasan apa yang akan dikatakannya pada orang yang sangat dia cintai melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Orang tuanya tak dapat diajak berdiskusi secara baik. Pikirannya campur aduk. Smsnya tak pernah Rahma balas, teleponnya tak juga diangkat. Hatinya tak akan kuat memberikan kabar yang tak mengenakkan dan akan menyakitinya. Kuliahnya terbengkalai, aktivitas kampus terhambat, skipsi tak dapat dia kerjakan, masalah tersebut menghancurkan semua harapannya.
Salahkah aku mencintainya? Tunjukkan kuasa-Mu ya Rob. Hambamu ini hanya meminta jalan yang terbaik atas semua ujianmu.
Meja yang penuh dengan buku-buku penelitian menghiasi pemandangan di sebelah Rahma. Ditengah kesibukannya, tiba-tiba kekasihnya datang ke kampusnya. Rahma terkejut dan memutar otak untuk memulai pembicaraan.
”Mas...”
Dia berjalan mendekat.
”Kapan Mas datang? Kenapa tidak mengabariku?”
”Ratusan kali Mas meneleponmu, ribuan sms mas kirim ke nomermu, tapi apa tanggapanmu?” Rahma tersenyum bimbang. ”Aku tadi telepon Ayu dan dia dilang kamu berada di taman fakultas.”
Rahma membereskan buku dan mengambil tas dan beranjak pergi, ”Mas belum makan? Adik traktir gimana?”
Dia menarik tangan dan mendudukkan Rahma ke kursi.
”Mas suka Gudeg?” Rahma mencoba mencairkan suasana.
”Mas kesini bukan untuk mencicipi makanan khas Yogyakarta atau refreshing. Mas sangat merindukanmu dan Mas ingin tahu kabarmu. Sebenarnya apa yang terjadi?”
”Mas hanya manusia biasa. Jika Mas selama ini salah, benar-benar Mas minta ma’af. Apakah pertanyaan Mas waktu itu membuatmu dalam masalah? Ceritalah, Dik.”
Mata Rahma berkaca-kaca.
”Baiklah jika kamu tidak mau cerita, jangan salahkan Mas jika hubungan ini berakhir buruk. Mungkin memang Mas tak pantas untukmu.”
”Mas...”
”Apakah akan kau biarkan Mas pulang dengan kesedihan?”
Rahma akhirnya menceritakan semua kegundahan dan masalah yang menimpanya. Tersendu-sendu dalam berucap dan menangis. Dia tak mengurangi maupun melebihi cerita, jujur dan apa adanya. Dia pasrah dengan akibat yang akan terjadi padanya.
”Mas ma’afkan aku.”
”Kau tak salah dan tak ada yang salah dalam hal ini. Permasalahanmu hanya akan selesai karena takdir. Jika mungkin akhir hubungan kita seperti yang orang tuamu inginkan. Mas ikhlas. Keputusanmu keputusan Mas. Jadi, apapun yang kau putuskan Mas menerimanya. Mas percaya kau tak pernah salah memilih. Sampai kapanpun, meskipun mas tak bisa bersanding denganmu, cinta Mas kepadamu tak akan berubah.”
”Mas...”
”Usap air matamu, kamu terlihat jelek jika menangis,” tangannya membasuh pipi Rahma. ”Senyum, Adikku.”
”Aku sangat mencintai mas.”
”Mas maupun Adik tak akan mengerti arti cinta. Meskipun hampir setiap hari Mas mengatakan cinta kepadamu. Namun tak akan ada yang tahu hakekat cinta. Simpanlah cinta untuk suamimu kelak. Kamu jangan bersedih, suatu hari Mas akan menjadi saksi kebahagiaanmu.”
Dalam bahasa percakapannya tersirat sebuah perpisahan. Walaupun tak ada kesepakatan putus, namun sudah jelas hubungan mereka hanya akan dijawab oleh takdir. Semenjak pertemuan yang tak disangka akan mengakhiri hubungan mereka, Rahma semakin galau. Meskipun mereka tetap berhubungan baik, namun semua kebiasaan yang menjadi rutinitas berubah. Hal yang sering dilakukan seperti perhatian dan kata-kata penyemangat hilang tergerus perubahan. Terkadang di saat dia termenung, teringat masa lalu bersamanya. Perlahan dia mengerti arti pemberiaan-Nya.
Udara malam menusuk tubuhnya. Burung gagak berceloteh di atas rumah. Seperempat malam membangunkan tidurnya. Rahma ke belakang mengambil air wudlu, terdengar suara burung gagak yang dari tadi malam tak berpindah tempat. Diambilnya air dalam kulkas dan diteguknya dengan syukur atas nikmat-Nya. Tiba-tiba gelas di tangannya terjatuh dan pecah. Dia beristiqfar.
”Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua tanda-tanda-Mu?”
Handphonenya berbunyi, seketika dia meraih dan mengangkatnya.
”Innanlillahi wainnaillahirajiun...” Air matanya deras mengalir, handphone yang dia pegang masih aktif menelpon. ”Rahma akan segera pulang, Bun.”
Pemakaman ayahnya berlangsung pagi tadi. Rahma dan Bunda berada di kamar, semua keluarga besar bercengkrama di ruang tamu. Keluarga Mas Arya baru saja mengundurkan diri pamit pulang.
Dia putuskan mengambil cuti dan menghentikan sesaat aktivitas kuliahnya. Impiannya untuk buru-buru memakai toga telah sirna, baginya yang terpenting saat ini adalah ketenangan dan kebahagiaan Bundanya, menyelesaikan semua perkerjaan yang Ayah tinggal. Rahma membantu mengurus dagangan. Bunda sibuk mengajar di sekolah dasar di desa. Semenjak kematian Ayah, Mas Adit balik pulang atas permintaan Bunda. Tak ada pemimpin laki-laki lagi jika Mas Adit tidak kembali dalam keluarga.
Nduk, Bunda berharap kau menjadi sarjana. Teruskanlah perjuanganmu menjadi mahasiswa.”
”Tapi Bun...” Bunda menutup mulutnya perlahan dengan jari telunjuk, alasanku tertahan.
”Urusan dagang dan rumah serahkan ke Bunda dan Mas Adit.”
Perjuangan dia mulai kembali. Semangatnya berkobar hingga pencapaian terpenuhi. Hari yang cerah dan penuh makna. Perjuangannya menjadi mahasiswa terbayar mahal. Rahma lulus dengan cumlaude, Mas Adit dan Bunda menjadi saksi sejarah kebahagiaan yang terukir. Sahabatnya tak bisa hadir, dia mengucapkan selamat lewat email. Ayu sedang melanjutkan master di Belanda. Kebahagiannya tiba-tiba terhenti, ingatannya menelusur ke belakang. Teringat sebuah janji yang pernah terukir.
”Adik cepat lulus ya, Mas tak sabar melihatmu memakai toga dan bersanding menemani hidup Mas. Mas janji di saat Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan bunga terindah adalah Mas. Dengan kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
Janji yang sirna, selalu teringat dan membekas. Harapan Rahma mendapat pinangan dari orang yang enam tahun lebih mengisi hatinya dan mungkin selamanya, kini telah pupus. Bukan pinangan untuknya yang datang, melainkan kabar pujaan hatinya akan menikah, dan undangannya dikirim langsung ke Yogyakarta, kota kenangan. Rahma hancur dan menguras air mata, jiwa dan raganya tak akan sanggup memenuhi undangan tersebut. Namun dia berusaha bangkit kembali, perkataan sahabatnya selalu teringat dan mempunya nyawa mengembalikan hidupnya. Jika kau berjodoh dengannya, tak akan ada yang dapat menghalangi kesaktian cinta kalian. Allah Maha Mengetahui apa yang tidak kau ketahui.
Rahma memenuhi kalimat terakhir yang dia dengan terucap dari mulut Ayah.
Ayu berkunjung ke rumah sahabatnya di Lamongan, sekalian ingin melepas kerinduan. Dia bercanda menghibur Rahma, dia sangat kenal sahabatnya. Rahma tipe orang yang pintar menyembunyikan kesedihan dalam keceriaannya. ”Persiapan pernikahanmu bagaimana, Rahma?”
”Minggu depan aku akan menikah.”
Canda tawa menghiasi pertemuan mereka yang sudah lama terpisahkan waktu dan jarak.
Hari yang sangat ditunggu keluarga Rahma dan pihak mempelai pria, Mas Arya, akhirnya tiba juga. Acara pernikahan Rahma dan Mas Arya berjalan lancar dan sukses, banyak rekan-rekan yang berdatangan. Bunda sangat bahagia, kesedihan Rahma yang mendalam dan menyayat terobati dengan senyum manis wanita yang telah melahirkannya. Rahma akan belajar mencintai orang yang tak pernah dia tulis dalam agenda hatinya. Dalam acara resepsi pernikahan Mas Arya mengenalkan tamu spesial, teman dekatnya ketika kuliah di Surabaya. Sungguh kuasa-Nya luar biasa, tak satupun makhluk-Nya yang tahu.
”Kenalkan sahabat Mas, dokter...”
”Mas...”

Jumat, 24 Mei 2013

AIR DALAM GENGGAMAN, PERGILAH UNTUKKU!

Hujan lebat menghentikan langkah kita menelusuri jalan setapak. Bangku kosong menemani keheningan di antata aku dan dia. Angin yang menyapa tak dihiraukan, suara air yang jatuh di genteng semakin terdengar keras. Mulutnya tertutup rapat, hasrat yang berusaha aku bangun terhenti. Perlahan hujan mulai reda, udara semakin menusuk dinginnya senja yang tertutup kelabu. Pikirku dalam pandangan yang ku curi. Sosok yang tak pernah membisu, selalu ceria dengan kedewasaan yang membuat hati beku mencair. Sejenak hati kecil berbicara, tak pantas wanita sepertiku terus mendampinginya. Dia ibarat bintang bersinar terang, sebagai bulan aku merasa mengecil. Namun kekawatiranku selalu terhapus dengan perlakuannya selama enam tahun yang sedikitpun tak berubah. Tutur katanya lembut merdu mengalunkan irama yang menggetarkan sanu bari. Komitmennya sangat kuat, tak akan ada sedikitpun yang bisa menggoyahkan laki-laki berketurunan Jawa yang sedang menemani diamku.
Sering mulut mungilku melontarkan pertanyaan yang ditanggapi dengan bercanda. Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku? Jawabannya selalu sama.
”Cinta”
Pelan namun punya kekuatan. Hatiku berhenti dan tak akan dapat membantah. Terhenti untuknya. Dan akankah kata penuh makna yang keluar dari tuturnya terus menghisai hidup yang sepi. Semakin lama waktu berputar, enggan jika harus kehilangannya.
Tiba-tiba terdengar suara yang mebuyarkan lamunanku. ”Kamu kedinginan?” Aku tak menoleh, pandangan kosong ke bawah. Dingin membuatku perlahan menggigil.
Sambil melepaskan jaket yang dikenakan, dia memakaikan ke punggungku. ”Kamu sakit?” Terlihat raut wajahnya cemas. ”Semoga tak terjadi apa-apa.”
”Aku tidak apa-apa,” mencoba menenangkan.
Perasaan yang tak pernah aku harapkan, kacau dan sejuta tanda tanya yang ingin terucap, namun tertahan. Sampai kapan aku akan menyembunyikan keraguanku padanya. Mengambil nafas panjang dan ku bangun keberaanian. Masih dengan pertanyaan yang sama.
”Sebenarnya apa yang kamu pertahankan dariku?” Dia senyum sinis. ”Aku tak sanggup kehilangan senyummu.”
”Karena ini kamu mendiamiku?”
Aku mengangkat kepala perlahan dengan pandangan lurus ke depan.
”Kamu berbeda dengan wanita lain yang ku kenal. Kamu pantas mendapatkan cintaku.”
Ketakutan semakin menyelimutiku. ”Jika hubungan kita terhenti, apa yang kamu lakukan?”
Air mata yang berusaha kubenung, tumpah membasahi pipi berlesung pipit. Hembusan angin semakin tajam menusuk tubuhku yang semakin tertunduk. Suara ranting melambai terdengar keras. Cahaya matahari yang mencoba menerobos mendung. Aku dan dia terhalang jarak yang terbangun atas perjanjian tak tertulis, sejak ku mengenalnya tak pernah dia menyentuhku, pegangan tangan hanya sekali, itu pun ketika menyeberangkan dari keramain lalu lintas.
”Apa yang terjadi padamu?”Dia beranjak mengambil air yang terkumpul di bak. Bak yang menadahi cucuran hujan. Kembali dia duduk di sampingku. ”Seandainya aku disuruh menjaga air ini agar tidak habis ditanganku. Aku akan sekuat tenaga untuk tidak membiarkan air dalam tengadahku habis. Meskipun bisa kamu lihat sendiri, sebanyak apapun usahaku air ini tetap habis.” Dia terdiam. ”Tidak hanya kamu, aku juga merasa suatu saat perasaan di antara kita akan hilang, tetapi aku tidak akan membiarkan cinta kita seperti air.”
”Apa kamu yakin?”
”Apakah waktu enam tahun tidak bisa meyakinkanmu?”
”Seandainya kamu mengganti air ditanganmu dengan air yang lain. Apakah perasaanmu tetap ada untukku?”
Dia memotong pembicaraan, ”Apapun yang terjadi kelak, cintaku tak akan berubah untukmu.”
***
”Rina apa kabar?” Cium pipi kanan kiri. ”Lama tidak berjumpa.”
”Seperti yang kamu lihat aku masih diberi kesehatan.”
Baru pertama kali aku melihatnya. Jarak yang begitu jauh dan waktu yang sangat lama memisahkan persahabatan. Rasa rindu yang menggunung terobati. Lulus Sekolah Menengah Pertama, dia tak pernah pulang ke rumahnya yang lama. Rumahku terasa sepi, sejak dia memutuskan melanjutkan sekolah di Bandung. Rani teman kecilku, keluarga kitasudah seperti saudara. Di antara kita tidak terlontar kedustaan.
”Kamu sekarang tambah cantik, Rin?”
”Sahabatnya siapa dulu.”
”Mana pacarmu, Rin?”
”Kamu berniat menyindir aku?”
Dari belakang terdengar Ardi memanggil.
Aku mengenalkan Rina ke Ardi dan sebaliknya.
”Jadi dia yang sering kamu ceritakan.”Rina berbisik kepadaku sambil melihat ke Ardi. ”Oh ya Citra, aku mau pulang duluan ke rumah nenekku. Besok dilanjutkan lagi ya nostalgianya.”
”Ke rumah nenekmu? Itu jauh banget.” Kamu melihat Ardi. ”Tolong antar sahabatku ya?”
”Pulangmu bagaimana?” kata Ardi.
”Jangan khawatirkan aku, nanti aku minta jemput Ayah.”
Jalan terlihat sepi, di tepi berjejer pepohonan. Selama di kendaraan Rina hanya diam, Ardi pun bingung mau memulai percakapan. Rina terpana melihat sosok pria yang begitu berkarisma. Tak heran Citra tergila-gila kepadanya. Citra selalu cerita kepadaku tak ingin kehilangannya. Siapa juga yang tidak ingin punya pendamping seperti Ardi. Aku pun jika punya pacar seperti dia pasti akan ku pertahankan selamanya.
”Dari tadi diam saja Mbak?” Ardi mencairkan suasana.
”Lagi melamunin kamu.”
”Aku? Ada yang aneh denganku?”
Rina tertawa, ”Kamu memang lucu seperti yang diceritakan Citra.”
Ardi senyum dan memusatkan perhatiannya ke jalan.
”Kamu tidak berharap putus dengan Citra?”
”Memang kamu mau menggantikan?”
Rina terdiam. Meskipun terdengar Ardi cuma bercanda, tetapi jantungnnya berdenyut kencang. Dia takut perasaan yang mulai tumbuh di hatinya akan menghancurkan persahabatan yang sudah bertahun-tahun dibangun.
Aku tidak tahu dengan siapa harus pulang. Posisi handphone-ku dalamkeadaan kehabisan baterai, tidak ada media yang dapat membantu. Tiba-tiba Ferdi ketua OSIS sekaligus teman sekelasnya menghampirinya. Namun tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, dia lewat tepat di depanku. Aku tak mengerti duduk perkara di antara kita. Dia selalu diam, mengajak bicara kalau ada kepentingan organisasi. Ku telusuri letak kesalahan serta tutur kata maupun perbuatan selama berinteraksi dengannya. Sampai sekarang hasilnya kosong, masalah kita tak ada.
”Citra kok belum pulang?” sapa senior ekstra kurikulerku.
”Ardi pulang dulu, gak ada yang jemput Mas,” sambil bermuka masam.
”Bareng dengan ku aja.”
”Mau gak sekalian mengantarku beli kado untuk Ardi, Mas?”
”Apa yang tidak untuk adikku tercinta. Kamu masih aja pacaran dengan dia, padahal sudah banyak yang antri menunggumu.”
”Mas kalau bercanda tidak usah berlebihan, nanti helmku tidak muat.”
”Kalau kamu putus bakalan langsung aku tampung.”
”Mas...”
Mas Radit, senior yang sangat suka bercanda. Sempat kita dekat layaknya pacar, tapi sampai kapanpun dia hanya akan menjadi kakak dalam hidupku. Kakak yang selalu dibutuhkan oleh adiknya.
Sesampainya di rumah aku melayangkan sms ke Ardi, menanyakan kabarnya. Sekalian mengajak ketemu dia besok sore pulang sekolah.
***
”Aku tidak mau ada anggota yang keluar sebelum rapat selesai tanpa alasan yang tidak jelas,”ujar ketua OSIS.
Seharusnya aku tak mengikuti rapat dari awal, tidak mungkin aku ijin pulang untuk menemui Ardi. Memaksaku mau tidak mau harus mengikuti rapat sampai akhir. Daripada aku dibilang tidak profesional, lebih baik mengorbankan hari istimewanya, masih ada malam. Segera aku mengabari Ardi. Meskipun jawabannya mengecewakan, agak tidak sependapat karena dia juga mengorbankan latihan basket. Dia berusaha menerima. Aku tetap menjanjikan bertemu setelah magrib di rumah makan biasanya.
Rapat yang seakan diperlambat, daritadi pembicaraan diulur-ulur membuatku semakin bosan. Matahari tenggelam berganti malam, setelah sholat maghrib di masjid sekolah, bergegas dia memesan tempat di rumah makan lesehan Resto.
Sebelum matahari melambaikan tangan, Ardi tidak sengaja bertemu  Rina di taman kota. Karena Rina ingat Citra bilang hari ini ulang tahun Ardi, akhirnya dia mengajak cari makan dilanjutkan melihat bioskop. Tak terasa udara malam menelanjangi kesenangan mereka hingga tak terasa jarum jam menunjukkan pukul sebelas. Adit mengantar pulang Rendi, ketika di jalan dia baru ingat meninggalkan janji dengan kekasihnya. Setelah berpamitan ke Rina, dia langsung tancap gas ke tempat janjian. Ketika sampai, terlihat petugas rumah makan sedang menderet pintu.
”Pak, Citra sudah pulang?”
”Sudah, Nak. Barusan aja bareng dengan laki-laki seumuran kalian.”
***
”Lebih baik kita punya jalan masing-masing, air yang berusaha kau jaga sudah benar-benar habis.”
Dia terdiam. Sekuat apapun cinta yang dibangun, namun tak ada yang mengerti maksud dan tujuan pemberi cinta.”Cintaku padamu lebih besar dibanding kepadanya.”
”Cintaku sudah menjadi air seperti yang kamu katakan. Dia lebih pantas mendapatkan tengadahmu. Apalagi dia sahabatku, aku akan sangat mendukung.”
”Apakah ini karena laki-laki yang mengantarmu pulang ketika aku lupa menempati janji?”
Aku mencoba mengingat. Dan aku memang merasa diantar pulang oleh Ferdi, karena dia kasihan melihatku sendirian. Pertama kali aku merasakan nyaman berbicara dengan aktifis sekolah, Ferdi yang aku kira cuek dan sombong ternyata orangnya asyik.
”Citra, aku lihat dari tadi duduk penuh kecemasan.Ada apa?” Aku terdiam sedikit terkejut melihat Ferdi menghampiri. ”Kamu kenapa diam?” Pikiranku menelusuri benaknya. ”Kenapa canggung?”
”Kalau mau ngobrol santai, duduk aja.”
”Nanti cowokmu marah?” Aku hanya senyum sinis. ”Kamu kaku banget sama aku? Oke...Sebelumnya aku minta maaf hampir dua tahun mendiamimu. Sebenarnya aku pengen ngomong sesuatu.” Semakin dibuatnya bingung. ”Santai aja, Citra. Jujur aku sampai sekarang memendam perasaan ke kamu, namun aku berusaha menghindar.” Keterkejutanku semakin tak terkendali. ”Tapi melihat keseriusanmu, mendengar cerita tentang hubungan kalian, bahkan aku sudah menguji kesetiaan hubungan kalian dengan mangadakan rapat tak terduga, rapat yang bakalan menyita waktumu.” Nadiku berhenti sesaat, mendengar dia bicara tentang rapat. Seakan mempermainkan hubunganku, membuatku marah namun berusaha ku netralkan. Diam,tindakantepat. ”Aku sangat salut dengan komitmen kalian. Sekarang aku sadar cinta tak harus memiliki. Hubungan kalian patut diapresiasikan.”
Dari pembicaraan yang tak ku sangka sebelumnya, membuka lembaran baru. Ternyata apa yang aku nilai belum tentu tepat.
”Karena dia kau minta hubungan kita dihentikan?” lantunannya membuyarkan lamumanku. Baru pertama kali aku melihat emosinya tak terkontrol.
”Lebih tepatnya karena cinta.”
”Kamu mencintainya?”
”Akankah pertemuan semalam merubah masa enam tahun yang sudah aku percayakan ke kamu? Malam itu juga terakhir aku berkomunikasi dengan Ferdi. Selanjutnya hubungan kita seperti biasa, cuma dia tidak cuek lagi.”
”Kamu yang bilang tidak ingin kehilangan senyumku?”
”Melihatmu bahagia dan masih tetap tersenyum untukku, aku tak akan merasa kehilangan.”
”Kau menghendaki aku dengan sahabatmu. Kamu tidak sakit?” Pertanyaan yang membuatku terpojok. Aku hanya tertunduk menangis.
”Sejak kecil dia selalu mengalah. Semua yang aku minta dia yang melengkapi.”
Minggu kemarin tiba-tiba Rina mengunjungi gubukku. Dengan senang hati, keluargaku yang sudah menganggapnya anak menyambut dengan suka cita. Aku langsung mengajaknya ke kamar.
”Citra aku boleh bicara sesuatu.” Kepalaku mengangguk. ”Tapi jangan marah?” Kedua kalinya menganggukkan kepala mengisyaratkan persetujuan. Aku selaluwelcome mendengar ceritanya. ”Sejak aku dilahirkan, kemudian tumbuh perlahan bersamamu. Aku merasakan jiwa sahabat sejati dalam dirimu. Sedikitpun aku berusaha tak minta apapun darimu.” Suasana semakin serius. ”Ini pertama kali aku meminta ke kamu. Bolehkan aku minta cintamu, meskipun tidak utuh?”
”Aku tak mengerti dengan permintaanmu.”
”Aku mencintai Ardi.”
Aku sangat kaget dan hatiku terasa tertuduk ribuan duri. Sanggupkan aku berbagi cinta dengan sahabatku?
”Kamu bercanda?” berusaha meyakinkan.
”Mungkin kita pernah berjanji tidak akan menyukai laki-laki yang sama. Kamu sudah bisa menilai mana yang bercanda dan mana yang serius.”
Ku ceritakan ke Ardi kejadian terakhir bertemu Rina sebelum kembali ke Bandung. Aku tak bisa berpikir apapun dan hanya mengiyakan. Hal yang dapat aku lakukan.
”Dan dari situlah aku putuskan membiarkan hubungan kita seperti air yang mengalir. Aku tak meminta putus atau menyuruhmu menjauhiku. Aku tak mau persahabatanku rusak karena cinta. Hidup itu butuh pengorbanan dengan memilih, aku hanya minta hubungan kita tak perlu status.”
”Apa bedanya dengan putus?”
”Sekali lagi aku tak minta putus.” Dia berdiri dari duduknya, namun aku tak ingin emosinya bertambah. Ku tenangkan dan perlahan ku dudukkan kembali. ”Jujur dari lubuk hatiku yang paling dalam, jika aku diberi kebebasan menjawab pertanyaan Rina, aku pasti menjawab hatiku satu dan akan tetap satu selamanya, secuilpunaku enggan berbagi.”
”Ardi aku sangat mencintaimu, karena itu biarkan takdir yang berbicara. Masa depan kita masih panjang. Aku akan menunggu dalam penantian. Aku memberikan kebebasan kau memilih samudera untuk kau arungi. Sebaliknya jangan paksa aku menutup ikan yang akan mengarungi samuderaku.”
”Aku akan buktikan, cintaku tak akan mati,” janji Ardi.
”Jadi teman?” ujarku sambil menyodorkan jari kelingking.
Tersentak dalam bisu. Pertama kali Ardi memelukku dengan tangis.
***



Minggu, 24 Februari 2013

SAKURA! KAU YANG KUCARI


Detik yang dinanti, masa yang selalu ditunggu ribuan umat manusia, terkhusus masyarakat berkebangsaan negara yang mendapat julukan matahari terbit. Tak terkecuali laki-laki yang mendapatkan kesempatan singgah ke negara yang pernah menjajah tanah airnya. Sejarah yang tak mau ia lewatkan, melihat bunga sakura bermekaran, ohanami mereka menyebutnya. Matahari tersenyum menyapa, aroma embun membasahi dedaunan mewarnai pagi yang cerah. Dia bergegas melangkahkan kaki menuju ke Osaka Mint Bureau, tepat di tepi sungai Okawa yang diiringi jejeran pedagang jajanan tradisional. Osaka Mint Bureau hanya dibuka untuk umum sekali setahun, pada musim semi.
Wanita cantik, mata sipit kulitnya bersih bersinar, peranakan Jepang. Bidadari yang memancarkan pesonanya, membuat kaum hawa berusaha mempertaruhkannya. Laki-laki  berdarah Jawa tak mengedipkan matanya. Bunga paling bersinar diantara indahnya sakura. Kecantikannya tak dapat dijelaskan lewat kata-kata. Ratu yang tak ada tandingan. Ardi tak berani mendekat, bukan karena tak berbahasa Jepang tapi asa membuat kakinya tertahan dikejauhan. Dia nampak asyik menggelar tikar, mengeluarkan bekal dari keranjang.
Ardi mengamati dengan detail, tak ada sudut yang terlewatkan dalam pandangannya. Obyek yang sejak tadi duduk membuatnya bertanya-tanya. Parasnya tertebak, seakan menunggu sesorangan, namun waktu terus berputar, tak ada satupun orang datang menghampirinya. Ketika matahari telah menunjukkan kejayaan di puncaknya, dia bergegas memberaskan meninggalkan tempat. Langkahnya menghilang dalam keramaian, tak dapat terkejar dengan mata sekalipun.
Sepekan berturut-turut Ardi mengunjungi Osaka Mint Bureau. Selama penantian yang melelahkan, dia selalu menemui ratu diantara juataan sakura bermekaran. Bidadari tanpa pencapaian, selalu melakukan hal yang sama, untuk menjawab segudang pertanyaan yang ada dibenaknya, dia melangkah menghampiri sosok misterius perlahan-lahan dengan penuh keraguan.
“Selamat pagi,” bahasa Jepang yang dia pelajari di tata bahasa paling dasar.
Senyum mengundang gairah menyapa balik. Tak ada ungkapan yang dikeluarkan dari mulut mungilnya. Ardi salah tingkah, kedatangannya tak begitu disambut suka cita. Mampir untuk meninggalkan, tanpa mengucap sepatah katapun, dia pandangi terus jiwa pemikatnya.
Dia tak datang. Kali ini Ardi semakin penasaran, tak punya petunjuk untuk menjawab ketidakmengertiannya.
Kesekiankalinya Ardi datang melihat bunga Sakura bermekaran. Wanita tak jelas asal usulnya muncul kembali. Ardi harus punya jawaban.
Dalam bahasa Jepang yang lancar, “Apa yang membuatmu selama musim semi melakukan hal ini?” Dia tersenyum membalasnya. “Apakah kedatanganku mengganggumu?”
“Kesatria akan datang menghampiriku, menghilangkan kegelapan.”
Ardi terus bertanya dan dunia terasa milik berdua, pembicaraan menjadi hangat. Wanita cantik secantik indahnya sakura tak lagi kesepian dalam menikmati tulusnya persembahan sakura. Mereka menjadi akrab, sejak awal mengenalnya Ardi menaruh hati pada wanita berbeda kewargaanaan yang sekarang ada dihadapannya. Canda tawa mnghisai hanami diantara mereka. Tak dapat dipungkiri hubungan mereka sangat erat layaknya suami istri.
Tiga pekan berlalu, Ardi berusaha masuk dalam dunianya, “Dunia dalam keagungan-Nya, aku berharap dapat membawamu dalam keabadian.”
“Cahaya akan hilang dalam ketiadaan,” lirihnya menatap Ardi dengan senyum yang tak pernah lepas dan membuat laki-laki itu semakin menaruh asa dalam penantian.
Pembicaraan terakhir, penutup dalam pertemuan mereka. Tidak pernah Ardi menemuinya. Kesedihan yang terpendam, tak mengerti dengan kebahagiaan yang terenggut. Dia mencoba mencari ke alamat yang pernah diberikan padanya, namun rumah yang ada pada alamat tersebut memiliki penghuni yang tak satupun mengenal dengan ciri-ciri yang dia temui. Semakin dipenuhi dengan kebingungan. Wanita cantik yang sangat menjaga kesopanan tak terpikir jika berkata dusta padanya.
Selama bunga sakura bermekaran Ardi selalu mendatangi tempat yang sama dan hasilnya tak pernah dia melihat ratu dengan sejuta pesonanya. Batang hidungnya saja tak pernah muncul di depan mata laki-laki yang sudah terlanjur jatuh cinta.
“Kau telah hancurkan mimpi yang mulai ku bangun perlahan.”
“Apa yang membuatmu gelisah?” Laki-laki bertubuh mungil, berkulit putih, mata sipit berpandangan tajam, membuyarkan lamunannya. “Siapa yang kau tunggu?” Dengan wajah muram dia tak menjawab. “Sejak awal melihatmu di tempat ini ada sesuatu yang unik dalam darimu.”
“Apa maksud dengan pernyataan terakhir tuan?"
“Kau selalu mengamati tempat dimana kau sekarang duduk.”
“Apa yang aneh?”
“Sesuatu yang kosong. Semenjak duduk di tempat ini, kau bicara tak punya arah dan lawan bicara.” 
Terjemahan lagu berjudul sakura oleh Moriyama Naotama. Bunga sakura, saat mekar tanpa pamrih, tanpa beban apa pun, dengan ketulusan dalam memberikan kepuasan dan kekaguman pada tiap orang untuk menikmatinya. Gugurnya bunga sakura akan sangat disayangkan banyak orang. Hidup Sakura itu bak cermin keberhasilan seseorang. Begitu kita mati, orang merasa kehilangan. Sakura adalah janji, yang walau usianya terlalu singkat, tapi ia berjanji akan kembali mekar di musim semi selanjutnya. Ia akan kembali membagi keindahannya, ia akan kembali membagi keceriaan bagi siapa saja yang memandangnya. Sakura berjanji akan datang lagi.
***


Selasa, 19 Februari 2013

KEAGUNGAN CINTA DALAM PENANTIAN



 Alunan langkah kaki menusuri jalan setapak diterangi pantulan cahaya matahari yang disuguhkan oleh panorama indahnya bulan. Bayangan diri dengan setia mendampingi berlomba-lomba untuk mendahului gerak kaki mungil yang dibalut dengan kain yang menempel sesuai dengan bagian terbawah dari tubuhnya. Bulan menyapanya dengan cukup sopan, senyum manis yang terpancar menggetarkan hati paling dalam untuk menyuarakan syukur kepada pencipta-Nya, tidak bisa dipungkiri sebuah anugerah terindah yang masih dapat ia rasakan.
”Lan, kalau jalan jangan ngelamun aja!”
Angin tenang yang mengalun menemani langkahnya berubah tidak karuan. Wulan terpenjak kaget mendengar gertakan dari teman karib yang tidak pernah luput mengusilinya. Pembicaraan yang mengalir alami telah merubah kesunyian perjalanan mereka. Sebuah undangan rapat remaja masjid melambai mereka untuk segera memijakkan kaki dirumah suci guna mengaspirasikan pemikiran membahas kegiatan mengisi bulan yang ditunggu-tunggu dan penuh berkah.
”Apa kamu tidak lihat bulan malam ini?”
”Bulan purnama, di malam nifsu sya’ban.”
”Tapi rapat sudah dimulai, kalau kita tidak segera datang bakalan sungkan sama ketua baru remaja masjid.”
”Lho sudah ganti? Kenapa aku tidak dikabari?”
Tanpa menghiraukan temannya yang diselimuti rasa ingin tahu dengan sejuta tanya tentang kepengurusan remaja masjid, Sekar bergegas melangkah ke serambi masjid. Wulan segera menyusul, tak mau kalah. Benar dugaan Sekar, masjid telah terpenuhi dengan aspirator agama. Kain basah sudah terpercik air, eman kalau tidak sekalian basah. Sudah terlanjur melangkah, mau tidak mau mereka berdua harus memenuhi undangan tersebut.
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
”Dari mana saja kamu, Lan? Kami di sini menunggu kedatanganmu dari tadi.”
”Tu kan Lan, apa aku bilang. Seharusnya kita tidak bersantai di jalan.”
Sebuah tanda tanya besar, wajah yang asing menyebut namanya. Wulan hanya tersipu malu dan menjawab pertanyaan tersebut dengan senyum yang tak tahu makna sesungguhnya, tidak dapat dia keluarkan sepatah katapun. Paras anggun yang terbalut kerudung biru mempesona peserta rapat yang hadir pada kesempatan kali ini. Dia dibingungkan dengan harapan mereka padanya, merasa tidak punya janji Wulan duduk perlahan menata roknya. Tersirat kekecewaan terpancar dari raut wajah pembicara yang tadi sempat menyapa kedatangan Wulan, akhirnya dia meneruskan rapat dengan topik yang tidak diketahui oleh Wulan maupun Sekar. Namun perlahan menyimak penjelasan ketua remas baru yang berbicara panjang lebar seperti halnya menteri di sidang pleno, mereka berdua sedikit demi sedikit mengerti arah pembicaraan.
”Bagaimana menurut kalian? Siapa yang bisa memberikan saran untuk acara mengisi bulan ramadhan?”
Tidak seperti rapat-rapat sebelumnya yang membuat antusian Wulan menggebu-gebu, dalam kesempatan yang penuh harapan dari ide-ide cemerlannya, dia berdiam diri dan terus mengamati setiap gerak-gerik pembicara yang berada di depan. Pesona yang dikeluar pemuda berdarah Jawa Sunda membuatnya tak berkutik sedikitpun. Keagungan dan kewibaan laki-laki itu telah mebius semua daya dalam tubuhnya bagai racun berbisa.
”Lan, tidak biasanya kamu absen berbicara?”
Tiba-tiba sesuatu yang tidak Wulan harapkan terjadi.
”Wulan apa kamu bisa memberikan masukan untuk acara kita?”
Semua lamunnya hilang, ditelan ombak yang membasahi unjung rambut sampai ujung kakinya, tubuhnya berubah dingin tidak berasa apapun. Kenapa namaku yang harus disebut? Melihat senyum dari perjaka itu, membuat Wulan semakin membeku. Malam semakin larut, penantian yang ditunggu dari bibir tipis wanita berkerudung biru dengan pakaian berwarna sedikit menyamai warna anggrek ungu, membuat para hadirin bisu menatapnya. Wulan berusaha memutar otak memikirkan pertanyaan yang diberikan padanya, tidak ingin hanya senyum yang mengakhiri alunan musik yang didendangkan Rais, setidaknya komentar indah mengalun. Dengan keraguan perlahan membuka mulutnya, memang sedikit susah tetapi ia paksakan.
”Sebelumnya aku minta ma’af, ini cuma sekedar masukan aja. Salah satu dusun di desa kita terkenal sebagai daerah kurang mampu. Di sana banyak orang yang membutuhkan bantuan, meskipun kita tidak bisa membantu banyak mungkin diadakan acara mengaji bersama, bakti sosial, ada sedikit pembelajaran bagi mereka baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun yang sudah lanjut usia, buka bersama dan mungkin bisa ditutup dengan tarawih berjama’ah di masjid.”
”Sungguh masukan yang luar biasa, tetapi bagaimana dengan anggaran dananya? Saldo yang kita punya menipis.”
Wulan bisa bernafas dengan lega. Pujian yang dilontarkan Rais untuknya, entah memuji karena benar-benar mengagungi masukan emas yang dia lontarkan atau sekedar menyenankan hatinya, Wulan tidak tahu. Yang dia tahu sekarang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya.
”Anggaran dana bisa kita peroleh dari donatur,” tambah Firman.
Firman merupakan salah satu remaja masjid yang mengabdi siang sampai malam untuk menjaga dan membersihkan masjid. Dia sempat dicalonkan menjadi ketua remaja masjid, tetapi tanpa berpikir panjang dia menolak, alasannya cukup sederhana dia sudah bangga menjadi anggota. Firman dan Wulan sudah berteman baik, orang tua mereka sangat akrab. Ibu Wulan pernah berkata ingin sekali punya menantu seperti Firman.
Setelah beberapa aspirasi mengalir, akhirnya Rais memutuskan akan mengadakan kegiatan yang diajukan Wulan. Tugas telah dibagikan ke masing-masing anggota, semua anggota tidak ada yang terlewatkan satu pun malah ada yang bekerja ganda.
Dentingan jarum jam terdengan mengalun, mengikuti irama nafas insan yang berjuang di jalan-Nya dan seolah berdzikir. Bulan yang nampak jauh dari pandangan, kini mendekat tepat di atas atap masjid. Waktu terus berputar, tidak terasa rapat sudah berjalan kurang lebih dua jam. Mata peserta rapat telihat sayup dan kemerahan, menunjukkan nikmatnya ibadah tidur telah memanggil. Rapat ditutup dengan ucapan hamdalan dan salam. Semua remaja yang datang membubarkan diri dari musyawarah layaknya laron yang berterbangan ketika musim penghujan, tidak terkecuali Wulan. Dia harus sebatang kara menelusuri setapak menuju kediaman, sebab ditengah rapat Sekar pamit pulang ada keperluan. Hanya satu dua orang yang sejalur dengannya, tetapi mereka seperti dikejar anjing. Wulan ingin menikmati malam nifsu sya’ban bersama keajaiban malam, tidak setiap hari dia bisa merasakan kenikmatan yang disuguhkan oleh Sang Penguasa langit dan bumi.
”Tidak baik perempuan pulang sendiri.”
Terdengar suara yang tidak asing baginya, seketika Wulan menoleh ke belakang. Dan dugaannya tepat.
”Sudah biasa pulang sendiri. Di jalan juga gak ada apa-apa kok.”
Laki-laki itu kemudian mendekat menyamai langkah perempuan berkudung biru itu. Dia tersenyum memandang lurus ke depan, kembali Wulan dibuat bingung dengan perasaan yang membuat jantungnya terus berdegup kencang. Biarkan perasaan ini menari menghiasi keindahan malam. Wulan meneruskan perjalanan ditemani laki-laki yang belum dikenalnya lama.
”Kalau boleh tahu, darimana kamu tahu namaku?”
”Laki-laki yang merugi jika tidak mengenalmu. Seorang wanita yang tersohor di desa, terkenal rupawan, dikarunia oleh kecerdasan dan bermasyarakat. Ibuku sering bercerita tentang keluargamu dan jasa-jasamu mengabdi di desa. Jadi, tidak menutup kemungkinanku untuk langsung mengingat namamu. Dengar-dengar dalam waktu dekat ini kamu menyandang gelar sebagai sarjana?”
”Insya Allah, saya minta banyak do’anya semoga diberi kelancaran.”
”Pasti. Sekarang kesibukanmu apa?”
Jangkrik yang sebelumnya terdengar bernyanyi bersaut-sautan, berhenti mendengarkan alunan canda tawa yang mengalir seraya air pegunungan yang mengawali perkenalan mereka berdua. Wulan sangat mudah menyesuaikan dengan lawan bicara dan akrab dengan siapa saja. Pujian yang Rais berikan ke Wulan tidak cuma rayuan belaka, Wulan memang wanita yang pekerja keras tidak hanya di desa, sekabupaten pada mengenal sosoknya. Kini dia diangkat menjadi guru tidak tetap atau biasa disebut GTT di salah satu sekolah menengah pertama di bawah pimpinan pamannya sendiri. Sejak awal menginjakkan kaki di tanah kelahirannya setelah sepuluh tahun di kota metropolitan kedua di Indonesia, Rais sangat mengagumi anugerah yang dimiliki anak tunggal yang sekarang di sampingnya. Laki-laki itu berniat menetap di desa yang membesarkan dan mengisi masa kecilnya. Sebenarnya Rais dan Wulan bukan teman baru, karena waktu yang telah memisahkan mereka membuat sedikit memori masa kecil terhapus oleh wajah yang berubah cantik dan tampan.
Bahasa tubuh Wulan telah mengisyaratkan perpisahan bersama Rais pada malam terang benderang ini. Wulan terus tersenyum menatapi bulan yang kiranya mengerti perasaan yang dia rasakan. Enggan ia meninggalkan pandangan bayangan laki-laki yang membuat seluruh tubuhnya berubah dingin dan panas. Matanya tidak berhenti menatap bulan, mencoba menerawang rahasia bulan yang tak terkuak sampai sekarang. Sesaat kemudian perasaan dalam dirinya berubah bercampur menjadi sebuah ketakutan, dia telah melupakan cintanya pada Dzat yang hakiki.
”Astagfirullah…Kenapa hatiku dipenuhi oleh bisikan setan yang berusaha mengajakku melupakan-Mu? Tidak sepantasnya hamba mencintai lawan jenis yang belum halal bagi hamba melebihi cintaku pada-Mu.”
Bulan penuh berkah telah menyapa semua makhluk yang telah menantikannya. Bulan dimana semua pahala dilipat gandakan, dibukanya pintu-pintu rahmat dan ditutupnya pintu jahanam dan setan dibelenggu. Wulan ditemani ibunya mempersiapkan keperluan untuk acara megengan yang menjadi tradisi mengawali bulan ramadhan di desanya. Wulan terus mengamati setiap langkah yang ibunya lakukan, sebentar lagi dia juga akan menghadapi tuntutan sebagai seorang ibu rumah tangga.
Nduk, tatangga-tetangga pada membicarakan kamu. Mereka bilang kamu sering pulang malam ditemani dengan putranya Bu Izza.”
”Omongan orang kok didengar, bu.”
”Kamu anak perawan Ibu satu-satunya. Ibu tidak melarang kamu dekat dengan dia, kamu juga sudah dewasa, waktunya berumah tangga. Tetapi tidak sewajarnya kamu akrab dengan dia melebihi sebatas teman, apa kata orang kalau sampai terjadi apa-apa.”
”Dia hanya teman, bu. Hubunganku dengannya tidak jauh beda seperti Firman yang sudah aku anggap saudara sendiri.”
Suasana menjadi hening, pembicaraan membuat Wulan dipaksa untuk memikirkan masa depan. Setiap malam kedua orang tuannya menyindir dengan membahas keinginan menggendong cucu. Kecantikan dan kecerdasaannya tidak menjamin mudahnya dia memilih pasangan.
”Keluarga Firman telah memintamu menjadi menantunya, mereka tinggal menunggu jawabanmu. Ibu tidak menutup samudera untuk semua ikan yang menginginkannya.”
”Iya bu, tetapi belum tentu samudera itu cocok dengan semua ikan.”
Ibunya terdiam. Memang tidak mudah mencarikan calon suami sebagai pendamping putri satu-satunya. Wulan sendiri tidak mau gegabah menentukan lelaki yang akan menjadi pemimpinnya dan anak-anaknya.
Setelah acara megengan dilaksanakan, semua warga berbondong-bondong mengisi shaf untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan melakukan sholah tarawih bersama. Masjid yang biasanya tidak pernah penuh dengan sesak manusia, di bulan yang agung dan penuh berkah semua sudut telah terpenuhi sampai ada yang berada di halaman depan masjid menggelar tikar. Angin malam yang dingin menusuk tidak mengusik niat mereka bersujud mendirikan sholat sunnah tarawih. Di Indonesia beragam jumlah rakaat tarawih yang ditegakkan mewarnai budaya bangsa, sedikit pun perbedaan itu tidak menjadi suatu perpecahan.
”Lan, kamu nanti ikut rapat?”
”Mungkin cuma sebentar, ibuku di rumah sendiri. Ayah menjenguk nenek.”
”Makanya, Lan. Kamu ndang nikah. Biar dapat momongan, ibumu jadi punya teman. Kamu jadi tidak kawatir jika meninggalkan beliau di rumah sendirian.”
”Aku nikah atau tidak sama aja. Kamu sendiri juga masih single gitu kok.” Bernada halus menyindir Sekar.
Persiapan untuk acara yang akan diadakan remas sudah hampir beres. Semua kebutuhan yang telah diperlukan telah terpenuhi. Namun koordinasi antar anggota tetap ditingkatkan. Firman sebagai ketua pelaksana ditemani Rais membuka rapat, diikuti laporan dari setiap seksi tentang kinerja mereka. Pikiran Wulan tidak dalam forum itu, melayang entah kemana tak tahu arah. Melihat pemimpin-pemimpin rapat di depan, dia teringat pembicaraan dengan ibunya tadi pagi di dapur. Lamunannya membuat semua pertanyaan yang diajukan ke dia menjadi angin lalu, ibarat panah yang tidak menusuk sampai ke kulit dan seperti daun gugur dari pohonnya yang tidak berarti.
”Lan, kamu sedang sakit?”
”Ma’af aku mau pulang, ibu tidak mengijinkan aku pulang malam-malam.”
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
Semua mata terpana melihatnya, Wulan yang selalu profesional di setiap acara apapun kini telah berubah. Meskipun ibunya atau ayahnya sendirian di rumah, tidak pernah sedikitpun meninggalkan rapat dengan ketidakmengertian.
”Katanya ada rapat, Nduk?”
”Wulan ngantuk.”
Walaupun pikirannya dipenuhi dengan duri yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, dia tetap berusaha menutupi kegelisahan yang ada didirinya pada teman-temannya. Bulan puasa dengan sejuta keajaibannya menjadi do’a harapan bagi Wulan. Masalah yang dia hadapi menjadi ujian untuk memenuhi arti dari bulan yang diberkahi. Puasa telah menginjak hari ke-20, seperti yang disepakati sebelumnya dalam rapat bahwa hari ini akan diadakan acara di salah satu dusun yang ada di desa.
Firman memberikan sambutan yang menjadi pembuka acara pagi tersebut, semua kalimat yang dia keluarkan sangat bermakna dan penuh hati-hati. Hampir tidak ada kesalahan sedikitpun dalam bait-bait yang dia lantunkan baik segi tata bahasa maupun tingkat kesopanan. Hati setiap wanita akan dibuat terkesima jika menyaksikannya.
Laki-laki seperti dialah yang akan mengisi hati yang kosong? Hanya sebatas masalah berumah tangga otak Wulan tidak berhenti bekerja. Setiap malam hanya kepada-Nyalah, dia mencurahkan segala kegundahan untuk memperoleh sebuah jawaban yang terbaik.
Tidak begitu lama Rais menghampiri Wulan, namun dia berhenti tepat di depannya dan Sekar. Membelakangi keberadaan mereka, sedikit menjauh sekitar lima puluh senti meter.
Atau perasaan kepada dia menuntunku membangun keluarga yang berlandaskan cinta. Sungguh teka-teki ilahi, hanya takdir yang akan menjawab bahtera yang mengusik ketenteramanku.
”Seandainya Rais menjadi pendamping hidupku, pasti aku akan bahagia.”
Ungkapan yang lirih dan tulus. Sekar terperanjak kaget mendengar kalimat itu tiba-tiba muncul dari mulutnya. Wulan semakin dibuat tidak mengerti dengan rencana yang dibuat Tuhan padanya. Sudah hampir bertahun-tahun Sekar dan Wulan bersama-sama berbagi suka dan duka, selalu mencurahkan semua kegudahan dan perasaan, tetapi di saat masalah cinta menyandung mereka. Kenapa tidak ada sedikitpun niat untuk mereka saling bercerita. Haruskah aku berbagi cinta dengan sahabatku sendiri. Kegelisahan semakin menjadi-jadi.    
Selang beberapa waktu kemudian tiap anggota dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memberikan sumbangan kepada warga yang tidak mampu yang dituangkan dalam bakti sosial ke rumah-rumah warga. Wulan kedapatan kelompok dengan Firman, sedangkan Sekar dengan Rais. Sebelumnya Wulan berharap yang menemani kegundahan hatinya adalah orang yang kini menyelimuti perasaannya, tetapi keputusan tetap di tangan seorang pemimpin. Perasaan dan logika sangat susah untuk disatukan. Bulan yang Wulan lihat setiap malam, terbentang jarak dan ruang.
”Lan, kamu sakit? Kalau badanmu tidak enak mending kamu istirahat aja. Tidak apa-apa pekerjaan ini aku yang kerjakan.”
”Kayak kamu tidak kenal aku, Fir.”
”Tidak usah dipaksakan, wajahmu terlihat pucat.”
Kamu begitu baik, tidak terlihat cacat sedikitpun di mataku. Tetapi apakah cinta bisa tumbuh tiba-tiba tanpa pupuk yang menjadikannya tanaman berbuah yang setiap saat dapat dipetik? Kehangatan bersamamu menjadi kakak di setiap langkahku, sebuah penyemangat di saat aku terjatuh. Akankah merubah jantung yang stabil menjadi berdetak kencang?
Melihat kebersamaan Sekar dengan Rais asa yang dirasakan Wulan berhenti berharap, dalam persahabatan Wulan dan Sekar tidak mengenal saingan. Setelah mengadakan bakti sosial, mereka mengajak anak-anak yang biasanya meminta-minta di tepi jalan, meraup uang receh untuk sesuap nasi. Pembagian kelompok tidak berubah, tetap sama seperti kesepakatan awal. Hati Wulan semakin tercabik-cabik terbakar cemburu melihat kebahagiaan sahabatnya bersama orang yang dia cintai, dengan ikhlas dan sabar mereka mengajari anak-anak kecil seperti halnya mengajari anak-anak mereka. Tidak ada hasrat untuk mengancurkan benih-benih cinta yang bersemi.
Wulan akhirnya memutuskan untuk membantu teman-teman yang bagian konsumsi untuk menyiapkan makanan dan minuman buka puasa. Tubuh yang tertusuk duri tidak mungkin sanggup menahan sakit.
”Perlu aku bantu?”
”Tidak perlu, Sekar lebih membutuhkan bantuanmu.”
”Akhir-akhir ini aku lihat kamu sering murung?”
”Pekerjaan di rumah sangat melelahkan.”
Siang berganti malam, terdengar suara adzan magrib berkumandang. Wulan bahagia bisa berada ditengah-tengah kebahagiaan orang lain, namun tidak dapat dibohongi kegelisahannya tetap merajai setiap nafasnya.
Setelah sholah tarawih berjama’ah, menutup acara pada hari ini. Panitia beres-beres dan melakukan evaluasi. Kepanitiaan dibubarkan dan semua remaja masjid kelihatan letih. Wulan berjalan sendiri, dia ingin perasaannya tenang bersama malam. Bulan semakin redup karena telah mencapai kesempurnaan, vasenya untuk mengurangi pantulan cahaya.
”Wulan, tunggu.”
Rais berusaha mengejanya, langkah Wulan berusaha dipercepat. Namun apa daya langkah seorang wanita.
”Kenapa terburu-buru?”
”Ibu sedang menunggu di rumah.”
Rais menghentikan langkan Wulan, dia berdiri tepat di depannya.
”Ijinkan aku berbicara empat mata denganmu sebentar.”
”Apa tidak bisa dibicarakan besok?”
”Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal dalam diriku.” Wulan terdiam. ”Sejak aku mengenalmu, aku melihat mawar yang indah. Baunya wangi, kecantikan wajahnya mempesona, tidak pernah melarang serangga menghisap madunya. Aku hanya ingin meminta ijin untuk memetiknya.”
Wulan bukan ahli menerjemahkan kata-kata kiasan, mungkin sedikit mengerti maksud yang diutarakan Rais. Tetapi dia hanya diam membisu. Air mata yang berusaha dia tahan sedikit menetes ke pipi mulusnya, namun dengan mudah dia menyembunyikan.
”Puasa tinggal 10 hari lagi, aku akan menunggu jawabanmu di sini pada malam takbiran saat kemenangan dikumandangkan. Memutuskan sesuatu harus tenang dan pertimbangan yang sangat matang. Jika jawabannya kamu mengijinkan tangan ini memetik bunga untuk mengarungi samuderamu, aku dan keluargaku akan menemui keluargamu pada hari semua umat islam menyatakan menang saling mengucapkan kata maaf. Aku berharap jika kebahagiaan menyelimuti hari rayaku tahun ini.”
”Akan ku berikan jawaban yang terbaik.”
Rasa bahagia menemani langkahnya pulang menuju rumah. Wulan sebernarnya tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya. Bunga yang bermekaran siap kapanpun dipetik olehnya. Namun sebuah keputusan perlu ijin dari-Nya. Meskipun orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak anaknya, tetapi Ibunya tetap berharap yang menjadi pendampingnya adalah Firmah. Tiba-tiba rasa bersalahnya ke sahabatnya juga muncul. Wulan yakin jika menerima pinangan Rais, sahabatnya tidak akan marah. Perasaan perempuan yang dinampakkan dan yang ada di dalam hati sangat mudah ditutupi, Sekar bisa saja bilang dia bahagia dengan kebahagian yang Wulan dan Rais rasakan, tetapi di saat itulah Sekar menangis.
”Sudah pulang, Nduk?”
”Firman tadi menunggumu sangat lama, dia hanya ingin meminta kejelasan lamarannya tempo hari.”
”Kenapa dia tidak menemui aku langsung?”
”Saran ibu segeralah memberikan jawaban padanya, jangan memberikan harapan kosong seperti ini. Apapun jawabannya kami sebagai orang tua akan mendukung, pihak Firman juga akan menerima. Kamu juga harus ingat usia, kamu semakin tua tidak tambah muda.”
Wulan hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian masuk kamar. Sebenarnya dia ingin sekali bercerita kepada ibu dan ayahnya masalah Rais, tetapi sekarang belum tepat. Malah akan menambah malasah menjadi panjang. Keluaga Wulan, Rais dan Firman sangat akrab dan sudah menjadi saudara sendiri, tidak mungkin dengan masalah seperti ini menghancurkan persaudaraan yang bertahun-tahun mereka bina.
Tiap malam dia bersimpuh menengadah meminta petunjuk yang terbaik untuk masa depannya, hari terus berganti belum ada titik terang. Wulan tidak berani keluar rumah, nyalinya begitu ciut jika harus bertemu Firman dan Rais.
Desakan dari orang tuanya memaksa dia untuk menceritakan masalah Rais kepada keluarganya. Cahaya tetap tak terlihat. Harus bagaimana ia berusaha menyelesaikan masalah ini. Waktu terus berputar, keputusan juga harus segera diperoleh. Harapan memperoleh berkah yang luar biasa dibanding ramadhan-ramadhan sebelumnya yang dimunajatkan oleh Wulan.
Tinggal satu malam, bulan juga semakin tidak terlihat hanya bayangan bulat yang menunjukkan keberadaannya. Wulan semakin cemas. Do’anya belum dijawab-Nya.
Gelap diseperempat malam mendorong Wulan membasuh sebagian tubuhnya dengan niat menyucikan diri guna untuk menghadap-Nya. Rakaat demi rakaat ia didirikan, mengingat semua kemelut kisah cintanya tidak bisa membendung air mata yang membanjiri pipi dan sajadah. Setelah sholat malam ia kerjakan, kemudian termenung sejenak. Memandang langit-langit dan menengadahkan tangan, berharap semua ujiannya dapat terselesaikan tanpa harus melukai orang-orang yang dia sayang.
Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada-Mulah hamba berserah diri dan meminta pertolongan. Ya Allah Dzat yang Agung dan Pemberi nikmat. Hamba memohon kepada-Mu tunjukkan jalan lurusmu. Berikan hamba pilihan yang terbaik. Hamba tidak ingin menyakiti perasaan siapapun. Jika Rais atau Firman yang terbaik bagi hamba  menerimanya, namun jika bukan kedua-duanya hamba ikhlas. Di bulan yang penuh berkan ini, hamba meminta segala ridho-Mu. Robbanaatinafiddunya khasanah wafilaqiroti khasanah wakina adzabannar. Aamiin.
Aroma melati yang bermekaran di depan rumah Wulan telah menyapa fajar yang terlihat anggun di ufuk timur. Udara pagi hari yang bersih menyejukkan hati dan pikiran. Wulan telah siap menghadapi semua keputusan yang akan dia berikan nanti di malam kemenangan, dia juga sudah menyiapkan jawaban terbaik untuk keluarga Firman. Selain itu, dia berusaha tidak akan menyakitkan sahabatnya tercinta, Sekar.
Ayah dan Ibunya berkumpul di ruang tamu menikmati sejuknya mentari. Wulan tersenyum menatap raut wajah kedua orang tua yang telah membesarkan dan merawatnya hingga dia sukses.
”Ayah Ibu dengan bismillah saya putuskan untuk menolak lamaran Firman, saya tidak bisa menikah dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Tolong sampaikan pada mereka. Saya benar-benar minta ma’af”
”Semua keputusanmu menjadi kebahagiaan kami, Nduk. Berarti kamu menerima pinangan dari putranya Bu Izza.”
”Nanti saya kabari. Keputusannya baru nanti malam.”
Adzan magrib terdengan nyaring, buka puasa terakhir di bulan suci ramadhan. Kumandang kemenangan telah terdengar di mana-mana. Takbir yang ditunggu Rais, akan menjadi akar baru dalam dirinya.
”Di sini aku berjanji menunggu jawabanmu. Apapun jawabannya aku akan menerima dengan lapang dada.”
”Bulan yang dipenuhi berkah telah menjadikan hadiah terindah dalam hidupku, termasuk anugerah mengenalmu. Sebuah tunas telah kamu tanam, namun terkadang tunas itu menjadi bumerang bagiku.”
Suasana hening, namun takbir-takbir kemenangan terdengan hingga di hati paling dalam. Usaha menahan makan, minum, dan nafsu, sekarang telah terbayar mahal. Rencana Allah sungguh indah, tidak ada yang mengerti dan tidak bisa ditebak, bahkan nalar pun tidak sanggup menembus kuasa-Nya.    
”Bunga di bawah langit bertabur bintang, ku meminta jawaban yang agung dan bijaksana.”
”Kumandang takbir telah menjawabnya”

*** SEKIAN ***