Alunan
langkah kaki menusuri jalan setapak diterangi pantulan cahaya matahari yang
disuguhkan oleh panorama indahnya bulan. Bayangan diri dengan setia mendampingi
berlomba-lomba untuk mendahului gerak kaki mungil yang dibalut dengan kain yang
menempel sesuai dengan bagian terbawah dari tubuhnya. Bulan menyapanya dengan
cukup sopan, senyum manis yang terpancar menggetarkan hati paling dalam untuk
menyuarakan syukur kepada pencipta-Nya, tidak bisa dipungkiri sebuah anugerah
terindah yang masih dapat ia rasakan.
”Lan, kalau jalan jangan ngelamun aja!”
Angin tenang yang mengalun menemani
langkahnya berubah tidak karuan. Wulan terpenjak kaget mendengar gertakan
dari teman karib yang tidak pernah luput mengusilinya. Pembicaraan yang mengalir
alami telah merubah kesunyian perjalanan mereka. Sebuah undangan rapat remaja
masjid melambai mereka untuk segera memijakkan kaki dirumah suci guna mengaspirasikan
pemikiran membahas kegiatan mengisi bulan yang ditunggu-tunggu dan penuh
berkah.
”Apa kamu tidak lihat bulan malam ini?”
”Bulan purnama, di malam nifsu sya’ban.”
”Tapi rapat sudah dimulai, kalau kita tidak
segera datang bakalan sungkan sama
ketua baru remaja masjid.”
”Lho sudah ganti? Kenapa aku tidak
dikabari?”
Tanpa menghiraukan temannya yang diselimuti
rasa ingin tahu dengan sejuta tanya tentang kepengurusan remaja masjid, Sekar
bergegas melangkah ke serambi masjid. Wulan segera menyusul, tak mau kalah.
Benar dugaan Sekar, masjid telah terpenuhi dengan aspirator agama. Kain basah
sudah terpercik air, eman kalau tidak sekalian basah. Sudah
terlanjur melangkah, mau tidak mau mereka berdua harus memenuhi undangan
tersebut.
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
”Dari mana saja kamu, Lan? Kami di sini
menunggu kedatanganmu dari tadi.”
”Tu kan Lan, apa aku bilang. Seharusnya
kita tidak bersantai di jalan.”
Sebuah tanda tanya besar, wajah yang asing
menyebut namanya. Wulan hanya tersipu malu dan menjawab pertanyaan tersebut
dengan senyum yang tak tahu makna sesungguhnya, tidak dapat dia keluarkan
sepatah katapun. Paras anggun yang terbalut kerudung biru mempesona peserta
rapat yang hadir pada kesempatan kali ini. Dia dibingungkan dengan harapan
mereka padanya, merasa tidak punya janji Wulan duduk perlahan menata roknya.
Tersirat kekecewaan terpancar dari raut wajah pembicara yang tadi sempat
menyapa kedatangan Wulan, akhirnya dia meneruskan rapat dengan topik yang tidak
diketahui oleh Wulan maupun Sekar. Namun perlahan menyimak penjelasan ketua
remas baru yang berbicara panjang lebar seperti halnya menteri di sidang pleno,
mereka berdua sedikit demi sedikit mengerti arah pembicaraan.
”Bagaimana menurut kalian? Siapa yang bisa
memberikan saran untuk acara mengisi bulan ramadhan?”
Tidak seperti rapat-rapat sebelumnya yang
membuat antusian Wulan menggebu-gebu, dalam kesempatan yang penuh harapan dari
ide-ide cemerlannya, dia berdiam diri dan terus mengamati setiap gerak-gerik
pembicara yang berada di depan. Pesona yang dikeluar pemuda berdarah Jawa Sunda
membuatnya tak berkutik sedikitpun. Keagungan dan kewibaan laki-laki itu telah
mebius semua daya dalam tubuhnya bagai racun berbisa.
”Lan, tidak biasanya kamu absen berbicara?”
Tiba-tiba sesuatu yang tidak Wulan harapkan
terjadi.
”Wulan apa kamu bisa memberikan masukan
untuk acara kita?”
Semua lamunnya hilang, ditelan ombak yang
membasahi unjung rambut sampai ujung kakinya, tubuhnya berubah dingin tidak
berasa apapun. Kenapa namaku yang harus
disebut? Melihat senyum dari perjaka itu, membuat Wulan semakin membeku.
Malam semakin larut, penantian yang ditunggu dari bibir tipis wanita
berkerudung biru dengan pakaian berwarna sedikit menyamai warna anggrek ungu,
membuat para hadirin bisu menatapnya. Wulan berusaha memutar otak memikirkan
pertanyaan yang diberikan padanya, tidak ingin hanya senyum yang mengakhiri alunan
musik yang didendangkan Rais, setidaknya komentar indah mengalun. Dengan
keraguan perlahan membuka mulutnya, memang sedikit susah tetapi ia paksakan.
”Sebelumnya aku minta ma’af, ini cuma
sekedar masukan aja. Salah satu dusun di desa kita terkenal sebagai daerah kurang mampu. Di sana banyak orang
yang membutuhkan bantuan, meskipun kita tidak bisa membantu banyak mungkin
diadakan acara mengaji bersama, bakti sosial, ada sedikit pembelajaran bagi
mereka baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun yang sudah lanjut usia, buka
bersama dan mungkin bisa ditutup dengan tarawih berjama’ah di masjid.”
”Sungguh masukan yang luar biasa, tetapi
bagaimana dengan anggaran dananya? Saldo yang kita punya menipis.”
Wulan bisa bernafas dengan lega. Pujian
yang dilontarkan Rais untuknya, entah memuji karena benar-benar mengagungi
masukan emas yang dia lontarkan atau sekedar menyenankan hatinya, Wulan tidak
tahu. Yang dia tahu sekarang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya.
”Anggaran dana bisa kita peroleh dari
donatur,” tambah Firman.
Firman merupakan salah satu remaja masjid
yang mengabdi siang sampai malam untuk menjaga dan membersihkan masjid. Dia
sempat dicalonkan menjadi ketua remaja masjid, tetapi tanpa berpikir panjang dia menolak, alasannya cukup
sederhana dia sudah bangga menjadi anggota. Firman dan Wulan sudah berteman
baik, orang tua mereka sangat akrab. Ibu Wulan pernah berkata ingin sekali
punya menantu seperti Firman.
Setelah beberapa aspirasi mengalir,
akhirnya Rais memutuskan akan mengadakan kegiatan yang diajukan Wulan. Tugas
telah dibagikan ke masing-masing anggota, semua anggota tidak ada yang
terlewatkan satu pun malah ada yang bekerja ganda.
Dentingan jarum jam terdengan mengalun,
mengikuti irama nafas insan yang berjuang di jalan-Nya dan seolah berdzikir.
Bulan yang nampak jauh dari pandangan, kini mendekat tepat di atas atap masjid.
Waktu terus berputar, tidak terasa rapat sudah berjalan kurang lebih dua jam. Mata
peserta rapat telihat sayup dan kemerahan, menunjukkan nikmatnya ibadah tidur
telah memanggil. Rapat ditutup dengan ucapan hamdalan dan salam. Semua remaja yang
datang membubarkan diri dari musyawarah layaknya laron yang berterbangan ketika
musim penghujan, tidak terkecuali Wulan. Dia harus sebatang kara menelusuri
setapak menuju kediaman, sebab ditengah rapat Sekar pamit pulang ada keperluan.
Hanya satu dua orang yang sejalur dengannya, tetapi mereka seperti dikejar
anjing. Wulan ingin menikmati malam nifsu sya’ban bersama keajaiban malam,
tidak setiap hari dia bisa merasakan kenikmatan yang disuguhkan oleh Sang
Penguasa langit dan bumi.
”Tidak baik perempuan pulang sendiri.”
Terdengar suara yang tidak asing baginya,
seketika Wulan menoleh ke belakang. Dan dugaannya tepat.
”Sudah biasa pulang sendiri. Di jalan juga
gak ada apa-apa kok.”
Laki-laki itu kemudian mendekat menyamai
langkah perempuan berkudung biru itu. Dia tersenyum memandang lurus ke depan,
kembali Wulan dibuat bingung dengan perasaan yang membuat jantungnya terus
berdegup kencang. Biarkan perasaan ini menari menghiasi keindahan malam. Wulan
meneruskan perjalanan ditemani laki-laki yang belum dikenalnya lama.
”Kalau boleh tahu, darimana kamu tahu
namaku?”
”Laki-laki yang merugi jika tidak
mengenalmu. Seorang wanita yang tersohor di desa, terkenal rupawan, dikarunia
oleh kecerdasan dan bermasyarakat. Ibuku sering bercerita tentang keluargamu
dan jasa-jasamu mengabdi di desa. Jadi, tidak menutup kemungkinanku untuk
langsung mengingat namamu. Dengar-dengar dalam waktu dekat ini kamu menyandang
gelar sebagai sarjana?”
”Insya Allah, saya minta banyak do’anya
semoga diberi kelancaran.”
”Pasti. Sekarang kesibukanmu apa?”
Jangkrik yang sebelumnya terdengar
bernyanyi bersaut-sautan, berhenti mendengarkan alunan canda tawa yang mengalir
seraya air pegunungan yang mengawali perkenalan mereka berdua. Wulan sangat
mudah menyesuaikan dengan lawan bicara dan akrab dengan siapa saja. Pujian yang
Rais berikan ke Wulan tidak cuma rayuan belaka, Wulan memang wanita yang
pekerja keras tidak hanya di desa, sekabupaten pada mengenal sosoknya. Kini dia
diangkat menjadi guru tidak tetap atau biasa disebut GTT di salah satu sekolah
menengah pertama di bawah pimpinan pamannya sendiri. Sejak awal menginjakkan
kaki di tanah kelahirannya setelah sepuluh tahun di kota metropolitan kedua di
Indonesia, Rais sangat mengagumi anugerah yang dimiliki anak tunggal yang
sekarang di sampingnya. Laki-laki itu berniat menetap di desa yang membesarkan
dan mengisi masa kecilnya. Sebenarnya Rais dan Wulan bukan teman baru, karena
waktu yang telah memisahkan mereka membuat sedikit memori masa kecil terhapus
oleh wajah yang berubah cantik dan tampan.
Bahasa tubuh Wulan telah mengisyaratkan
perpisahan bersama Rais pada malam terang benderang ini. Wulan terus tersenyum
menatapi bulan yang kiranya mengerti perasaan yang dia rasakan. Enggan ia
meninggalkan pandangan bayangan laki-laki yang membuat seluruh tubuhnya berubah
dingin dan panas. Matanya tidak berhenti menatap bulan, mencoba menerawang
rahasia bulan yang tak terkuak sampai sekarang. Sesaat kemudian perasaan dalam
dirinya berubah bercampur menjadi sebuah ketakutan, dia telah melupakan
cintanya pada Dzat yang hakiki.
”Astagfirullah…Kenapa hatiku dipenuhi oleh
bisikan setan yang berusaha mengajakku melupakan-Mu? Tidak sepantasnya hamba
mencintai lawan jenis yang belum halal bagi hamba melebihi cintaku pada-Mu.”
Bulan penuh berkah telah menyapa semua
makhluk yang telah menantikannya. Bulan dimana semua pahala dilipat gandakan,
dibukanya pintu-pintu rahmat dan ditutupnya pintu jahanam dan setan dibelenggu.
Wulan ditemani ibunya mempersiapkan keperluan untuk acara megengan yang menjadi tradisi mengawali bulan ramadhan di desanya. Wulan
terus mengamati setiap langkah yang ibunya lakukan, sebentar lagi dia juga akan
menghadapi tuntutan sebagai seorang ibu rumah tangga.
”Nduk,
tatangga-tetangga pada membicarakan kamu. Mereka bilang kamu sering pulang
malam ditemani dengan putranya Bu Izza.”
”Omongan orang kok didengar, bu.”
”Kamu anak perawan Ibu satu-satunya. Ibu
tidak melarang kamu dekat dengan dia, kamu juga sudah dewasa, waktunya berumah
tangga. Tetapi tidak sewajarnya kamu akrab dengan dia melebihi sebatas teman,
apa kata orang kalau sampai terjadi apa-apa.”
”Dia hanya teman, bu. Hubunganku dengannya
tidak jauh beda seperti Firman yang sudah aku anggap saudara sendiri.”
Suasana menjadi hening, pembicaraan membuat
Wulan dipaksa untuk memikirkan masa depan. Setiap malam kedua orang tuannya
menyindir dengan membahas keinginan menggendong
cucu. Kecantikan dan kecerdasaannya tidak menjamin mudahnya dia memilih
pasangan.
”Keluarga Firman telah memintamu menjadi
menantunya, mereka tinggal menunggu jawabanmu. Ibu tidak menutup samudera untuk
semua ikan yang menginginkannya.”
”Iya bu, tetapi belum tentu samudera itu
cocok dengan semua ikan.”
Ibunya terdiam. Memang tidak mudah
mencarikan calon suami sebagai pendamping putri satu-satunya. Wulan sendiri
tidak mau gegabah menentukan lelaki yang akan menjadi pemimpinnya dan
anak-anaknya.
Setelah acara megengan dilaksanakan, semua warga berbondong-bondong mengisi shaf
untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan melakukan sholah tarawih
bersama. Masjid yang biasanya tidak pernah penuh dengan sesak manusia, di bulan
yang agung dan penuh berkah semua sudut telah terpenuhi sampai ada yang berada
di halaman depan masjid menggelar tikar. Angin malam yang dingin menusuk tidak
mengusik niat mereka bersujud mendirikan sholat sunnah tarawih. Di Indonesia
beragam jumlah rakaat tarawih yang ditegakkan mewarnai budaya bangsa, sedikit
pun perbedaan itu tidak menjadi suatu perpecahan.
”Lan, kamu nanti ikut rapat?”
”Mungkin cuma sebentar, ibuku di rumah
sendiri. Ayah menjenguk nenek.”
”Makanya, Lan. Kamu ndang nikah. Biar dapat momongan, ibumu jadi punya teman. Kamu jadi
tidak kawatir jika meninggalkan beliau di rumah sendirian.”
”Aku nikah atau tidak sama aja. Kamu
sendiri juga masih single gitu kok.” Bernada halus
menyindir Sekar.
Persiapan untuk acara yang akan diadakan
remas sudah hampir beres. Semua kebutuhan yang telah diperlukan telah
terpenuhi. Namun koordinasi antar anggota tetap ditingkatkan. Firman sebagai
ketua pelaksana ditemani Rais membuka rapat, diikuti laporan dari setiap seksi
tentang kinerja mereka. Pikiran Wulan tidak dalam forum itu, melayang entah
kemana tak tahu arah. Melihat pemimpin-pemimpin rapat di depan, dia teringat
pembicaraan dengan ibunya tadi pagi di dapur. Lamunannya membuat semua
pertanyaan yang diajukan ke dia menjadi angin lalu, ibarat panah yang tidak
menusuk sampai ke kulit dan seperti daun gugur dari pohonnya yang tidak
berarti.
”Lan, kamu sedang sakit?”
”Ma’af aku mau pulang, ibu tidak
mengijinkan aku pulang malam-malam.”
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
Semua mata terpana melihatnya, Wulan yang
selalu profesional di setiap acara apapun kini telah berubah. Meskipun ibunya
atau ayahnya sendirian di rumah, tidak pernah sedikitpun
meninggalkan rapat dengan ketidakmengertian.
”Katanya ada rapat, Nduk?”
”Wulan ngantuk.”
Walaupun pikirannya dipenuhi dengan duri
yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, dia tetap berusaha menutupi kegelisahan
yang ada didirinya pada teman-temannya. Bulan puasa dengan sejuta keajaibannya
menjadi do’a harapan bagi Wulan. Masalah yang dia hadapi menjadi ujian untuk
memenuhi arti dari bulan yang diberkahi. Puasa telah menginjak hari ke-20,
seperti yang disepakati sebelumnya dalam rapat bahwa hari ini akan diadakan
acara di salah satu dusun yang ada di desa.
Firman memberikan sambutan yang menjadi
pembuka acara pagi tersebut, semua kalimat yang dia keluarkan sangat bermakna
dan penuh hati-hati. Hampir tidak ada kesalahan sedikitpun dalam bait-bait yang
dia lantunkan baik segi tata bahasa maupun tingkat kesopanan. Hati setiap
wanita akan dibuat terkesima jika menyaksikannya.
Laki-laki seperti dialah yang akan mengisi hati yang kosong? Hanya sebatas masalah
berumah tangga otak Wulan tidak berhenti bekerja. Setiap malam hanya
kepada-Nyalah, dia mencurahkan segala kegundahan untuk memperoleh sebuah
jawaban yang terbaik.
Tidak begitu lama Rais menghampiri Wulan,
namun dia berhenti tepat di depannya dan Sekar. Membelakangi keberadaan mereka,
sedikit menjauh sekitar lima puluh senti meter.
Atau perasaan kepada dia menuntunku membangun keluarga yang berlandaskan
cinta. Sungguh teka-teki ilahi, hanya takdir yang akan menjawab bahtera yang
mengusik ketenteramanku.
”Seandainya Rais menjadi pendamping
hidupku, pasti aku akan bahagia.”
Ungkapan yang lirih dan tulus. Sekar
terperanjak kaget mendengar kalimat itu tiba-tiba muncul dari mulutnya. Wulan
semakin dibuat tidak mengerti dengan rencana yang dibuat Tuhan padanya. Sudah hampir
bertahun-tahun Sekar dan Wulan bersama-sama berbagi suka dan duka, selalu mencurahkan
semua kegudahan dan perasaan, tetapi di saat masalah cinta menyandung mereka.
Kenapa tidak ada sedikitpun niat untuk mereka saling bercerita. Haruskah aku berbagi cinta dengan sahabatku
sendiri. Kegelisahan semakin menjadi-jadi.
Selang beberapa waktu kemudian tiap anggota
dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memberikan sumbangan kepada warga yang
tidak mampu yang dituangkan dalam bakti sosial ke rumah-rumah warga. Wulan
kedapatan kelompok dengan Firman, sedangkan Sekar dengan Rais. Sebelumnya Wulan
berharap yang menemani kegundahan hatinya adalah orang yang kini menyelimuti
perasaannya, tetapi keputusan tetap di tangan seorang pemimpin. Perasaan dan
logika sangat susah untuk disatukan. Bulan yang Wulan lihat setiap malam,
terbentang jarak dan ruang.
”Lan, kamu sakit? Kalau badanmu tidak enak
mending kamu istirahat aja. Tidak apa-apa pekerjaan ini aku yang kerjakan.”
”Kayak kamu tidak kenal aku, Fir.”
”Tidak usah dipaksakan, wajahmu terlihat
pucat.”
Kamu begitu baik, tidak terlihat cacat sedikitpun di mataku. Tetapi apakah
cinta bisa tumbuh tiba-tiba tanpa pupuk yang menjadikannya tanaman berbuah yang
setiap saat dapat dipetik? Kehangatan bersamamu menjadi kakak di setiap
langkahku, sebuah penyemangat di saat aku terjatuh. Akankah merubah jantung
yang stabil menjadi berdetak kencang?
Melihat kebersamaan Sekar dengan Rais asa
yang dirasakan Wulan berhenti berharap, dalam persahabatan Wulan dan Sekar
tidak mengenal saingan. Setelah mengadakan bakti sosial, mereka mengajak
anak-anak yang biasanya meminta-minta di tepi jalan, meraup uang receh untuk
sesuap nasi. Pembagian kelompok tidak berubah, tetap sama seperti kesepakatan
awal. Hati Wulan semakin tercabik-cabik terbakar cemburu melihat kebahagiaan
sahabatnya bersama orang yang dia cintai, dengan ikhlas dan sabar mereka
mengajari anak-anak kecil seperti halnya mengajari anak-anak mereka. Tidak ada
hasrat untuk mengancurkan benih-benih cinta yang bersemi.
Wulan akhirnya memutuskan untuk membantu
teman-teman yang bagian konsumsi untuk menyiapkan makanan dan minuman buka puasa. Tubuh
yang tertusuk duri tidak mungkin sanggup menahan sakit.
”Perlu aku bantu?”
”Tidak perlu, Sekar lebih membutuhkan
bantuanmu.”
”Akhir-akhir ini aku lihat kamu sering
murung?”
”Pekerjaan di rumah sangat melelahkan.”
Siang berganti malam, terdengar suara adzan
magrib berkumandang. Wulan bahagia bisa berada ditengah-tengah kebahagiaan
orang lain, namun tidak dapat dibohongi kegelisahannya tetap merajai setiap
nafasnya.
Setelah sholah tarawih berjama’ah, menutup
acara pada hari ini. Panitia beres-beres dan melakukan evaluasi. Kepanitiaan
dibubarkan dan semua remaja masjid kelihatan letih. Wulan berjalan sendiri, dia
ingin perasaannya tenang bersama malam. Bulan semakin redup karena telah
mencapai kesempurnaan, vasenya untuk mengurangi pantulan cahaya.
”Wulan, tunggu.”
Rais berusaha mengejanya, langkah Wulan
berusaha dipercepat. Namun apa daya langkah seorang wanita.
”Kenapa terburu-buru?”
”Ibu sedang menunggu di rumah.”
Rais menghentikan langkan Wulan, dia
berdiri tepat di depannya.
”Ijinkan aku berbicara empat mata denganmu
sebentar.”
”Apa tidak bisa dibicarakan besok?”
”Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang
mengganjal dalam diriku.” Wulan terdiam. ”Sejak aku mengenalmu, aku melihat mawar
yang indah. Baunya wangi, kecantikan wajahnya mempesona, tidak pernah melarang serangga
menghisap madunya. Aku hanya ingin meminta ijin untuk memetiknya.”
Wulan bukan ahli menerjemahkan kata-kata
kiasan, mungkin sedikit mengerti maksud yang diutarakan Rais. Tetapi dia hanya
diam membisu. Air mata yang berusaha dia tahan sedikit menetes ke pipi mulusnya,
namun dengan mudah dia menyembunyikan.
”Puasa tinggal 10 hari lagi, aku akan
menunggu jawabanmu di sini pada malam takbiran saat kemenangan dikumandangkan.
Memutuskan sesuatu harus tenang dan pertimbangan yang sangat matang. Jika
jawabannya kamu mengijinkan tangan ini memetik bunga untuk mengarungi
samuderamu, aku dan keluargaku akan menemui keluargamu pada hari semua umat
islam menyatakan menang saling mengucapkan kata maaf. Aku berharap jika kebahagiaan
menyelimuti hari rayaku tahun ini.”
”Akan ku berikan jawaban yang terbaik.”
Rasa bahagia menemani langkahnya pulang
menuju rumah. Wulan sebernarnya tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya.
Bunga yang bermekaran siap kapanpun dipetik olehnya. Namun sebuah keputusan
perlu ijin dari-Nya. Meskipun orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak
anaknya, tetapi Ibunya tetap berharap yang menjadi pendampingnya adalah Firmah.
Tiba-tiba rasa bersalahnya ke sahabatnya juga muncul. Wulan yakin jika menerima
pinangan Rais, sahabatnya tidak akan marah. Perasaan perempuan yang dinampakkan
dan yang ada di dalam hati sangat mudah ditutupi, Sekar bisa saja bilang dia
bahagia dengan kebahagian yang Wulan dan Rais rasakan, tetapi di saat itulah
Sekar menangis.
”Sudah pulang, Nduk?”
”Firman tadi menunggumu sangat lama, dia
hanya ingin meminta kejelasan lamarannya tempo hari.”
”Kenapa dia tidak menemui aku langsung?”
”Saran ibu segeralah memberikan jawaban
padanya, jangan memberikan harapan kosong seperti ini. Apapun jawabannya kami
sebagai orang tua akan mendukung, pihak Firman juga akan menerima. Kamu juga
harus ingat usia, kamu semakin tua tidak tambah muda.”
Wulan hanya tersenyum dan mengangguk,
kemudian masuk kamar. Sebenarnya dia ingin sekali bercerita kepada ibu dan
ayahnya masalah Rais, tetapi sekarang belum tepat. Malah akan menambah malasah
menjadi panjang. Keluaga Wulan, Rais dan Firman sangat akrab dan sudah menjadi
saudara sendiri, tidak mungkin dengan masalah seperti ini menghancurkan
persaudaraan yang bertahun-tahun mereka bina.
Tiap malam dia bersimpuh menengadah meminta
petunjuk yang terbaik untuk masa depannya, hari terus berganti belum ada titik
terang. Wulan tidak berani keluar rumah, nyalinya begitu ciut jika harus
bertemu Firman dan Rais.
Desakan dari orang tuanya memaksa dia untuk
menceritakan masalah Rais kepada keluarganya. Cahaya tetap tak terlihat. Harus
bagaimana ia berusaha menyelesaikan masalah ini. Waktu terus berputar,
keputusan juga harus segera diperoleh. Harapan memperoleh berkah yang luar
biasa dibanding ramadhan-ramadhan sebelumnya yang dimunajatkan oleh Wulan.
Tinggal satu malam, bulan juga semakin
tidak terlihat hanya bayangan bulat yang menunjukkan keberadaannya. Wulan
semakin cemas. Do’anya belum dijawab-Nya.
Gelap diseperempat malam mendorong Wulan
membasuh sebagian tubuhnya dengan niat menyucikan diri guna untuk menghadap-Nya.
Rakaat demi rakaat ia didirikan, mengingat semua kemelut kisah cintanya tidak
bisa membendung air mata yang membanjiri pipi dan sajadah. Setelah sholat malam
ia kerjakan, kemudian termenung sejenak. Memandang langit-langit dan
menengadahkan tangan, berharap semua ujiannya dapat terselesaikan tanpa harus
melukai orang-orang yang dia sayang.
Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada-Mulah
hamba berserah diri dan meminta pertolongan. Ya Allah Dzat yang Agung dan
Pemberi nikmat. Hamba memohon kepada-Mu tunjukkan jalan lurusmu. Berikan hamba
pilihan yang terbaik. Hamba tidak ingin menyakiti perasaan siapapun. Jika Rais
atau Firman yang terbaik bagi hamba menerimanya, namun jika bukan kedua-duanya
hamba ikhlas. Di bulan yang penuh berkan ini, hamba meminta segala ridho-Mu.
Robbanaatinafiddunya khasanah wafilaqiroti khasanah wakina adzabannar. Aamiin.
Aroma melati yang bermekaran di depan rumah
Wulan telah menyapa fajar yang terlihat anggun di ufuk timur. Udara pagi hari
yang bersih menyejukkan hati dan pikiran. Wulan telah siap menghadapi semua
keputusan yang akan dia berikan nanti di malam kemenangan, dia juga sudah
menyiapkan jawaban terbaik untuk keluarga Firman. Selain itu, dia berusaha
tidak akan menyakitkan sahabatnya tercinta, Sekar.
Ayah dan Ibunya berkumpul di ruang tamu
menikmati sejuknya mentari. Wulan tersenyum menatap raut wajah kedua orang tua
yang telah membesarkan dan merawatnya hingga dia sukses.
”Ayah Ibu dengan bismillah saya putuskan
untuk menolak lamaran Firman, saya tidak bisa menikah dengan orang yang sudah
saya anggap sebagai kakak sendiri. Tolong sampaikan pada mereka. Saya
benar-benar minta ma’af”
”Semua keputusanmu menjadi kebahagiaan
kami, Nduk. Berarti kamu menerima
pinangan dari putranya Bu Izza.”
”Nanti saya kabari. Keputusannya baru nanti
malam.”
Adzan magrib terdengan nyaring, buka puasa
terakhir di bulan suci ramadhan. Kumandang kemenangan telah terdengar di
mana-mana. Takbir yang ditunggu Rais, akan menjadi akar baru dalam dirinya.
”Di sini aku berjanji menunggu jawabanmu.
Apapun jawabannya aku akan menerima dengan lapang dada.”
”Bulan yang dipenuhi berkah telah
menjadikan hadiah terindah dalam hidupku, termasuk anugerah mengenalmu. Sebuah
tunas telah kamu tanam, namun terkadang tunas itu menjadi bumerang bagiku.”
Suasana hening, namun takbir-takbir
kemenangan terdengan hingga di hati paling dalam. Usaha menahan makan, minum,
dan nafsu, sekarang telah terbayar mahal. Rencana Allah sungguh indah, tidak
ada yang mengerti dan tidak bisa ditebak, bahkan nalar pun tidak sanggup
menembus kuasa-Nya.
”Bunga di bawah langit bertabur bintang, ku
meminta jawaban yang agung dan bijaksana.”
”Kumandang takbir telah menjawabnya”
*** SEKIAN ***
Suasana hening, namun takbir-takbir kemenangan (terdengan) hingga di hati paling dalam.
BalasHapuskeren.. keren.. meski ada beberapa kata yang salah ketik :D