Selasa, 19 Februari 2013

KEAGUNGAN CINTA DALAM PENANTIAN



 Alunan langkah kaki menusuri jalan setapak diterangi pantulan cahaya matahari yang disuguhkan oleh panorama indahnya bulan. Bayangan diri dengan setia mendampingi berlomba-lomba untuk mendahului gerak kaki mungil yang dibalut dengan kain yang menempel sesuai dengan bagian terbawah dari tubuhnya. Bulan menyapanya dengan cukup sopan, senyum manis yang terpancar menggetarkan hati paling dalam untuk menyuarakan syukur kepada pencipta-Nya, tidak bisa dipungkiri sebuah anugerah terindah yang masih dapat ia rasakan.
”Lan, kalau jalan jangan ngelamun aja!”
Angin tenang yang mengalun menemani langkahnya berubah tidak karuan. Wulan terpenjak kaget mendengar gertakan dari teman karib yang tidak pernah luput mengusilinya. Pembicaraan yang mengalir alami telah merubah kesunyian perjalanan mereka. Sebuah undangan rapat remaja masjid melambai mereka untuk segera memijakkan kaki dirumah suci guna mengaspirasikan pemikiran membahas kegiatan mengisi bulan yang ditunggu-tunggu dan penuh berkah.
”Apa kamu tidak lihat bulan malam ini?”
”Bulan purnama, di malam nifsu sya’ban.”
”Tapi rapat sudah dimulai, kalau kita tidak segera datang bakalan sungkan sama ketua baru remaja masjid.”
”Lho sudah ganti? Kenapa aku tidak dikabari?”
Tanpa menghiraukan temannya yang diselimuti rasa ingin tahu dengan sejuta tanya tentang kepengurusan remaja masjid, Sekar bergegas melangkah ke serambi masjid. Wulan segera menyusul, tak mau kalah. Benar dugaan Sekar, masjid telah terpenuhi dengan aspirator agama. Kain basah sudah terpercik air, eman kalau tidak sekalian basah. Sudah terlanjur melangkah, mau tidak mau mereka berdua harus memenuhi undangan tersebut.
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
”Dari mana saja kamu, Lan? Kami di sini menunggu kedatanganmu dari tadi.”
”Tu kan Lan, apa aku bilang. Seharusnya kita tidak bersantai di jalan.”
Sebuah tanda tanya besar, wajah yang asing menyebut namanya. Wulan hanya tersipu malu dan menjawab pertanyaan tersebut dengan senyum yang tak tahu makna sesungguhnya, tidak dapat dia keluarkan sepatah katapun. Paras anggun yang terbalut kerudung biru mempesona peserta rapat yang hadir pada kesempatan kali ini. Dia dibingungkan dengan harapan mereka padanya, merasa tidak punya janji Wulan duduk perlahan menata roknya. Tersirat kekecewaan terpancar dari raut wajah pembicara yang tadi sempat menyapa kedatangan Wulan, akhirnya dia meneruskan rapat dengan topik yang tidak diketahui oleh Wulan maupun Sekar. Namun perlahan menyimak penjelasan ketua remas baru yang berbicara panjang lebar seperti halnya menteri di sidang pleno, mereka berdua sedikit demi sedikit mengerti arah pembicaraan.
”Bagaimana menurut kalian? Siapa yang bisa memberikan saran untuk acara mengisi bulan ramadhan?”
Tidak seperti rapat-rapat sebelumnya yang membuat antusian Wulan menggebu-gebu, dalam kesempatan yang penuh harapan dari ide-ide cemerlannya, dia berdiam diri dan terus mengamati setiap gerak-gerik pembicara yang berada di depan. Pesona yang dikeluar pemuda berdarah Jawa Sunda membuatnya tak berkutik sedikitpun. Keagungan dan kewibaan laki-laki itu telah mebius semua daya dalam tubuhnya bagai racun berbisa.
”Lan, tidak biasanya kamu absen berbicara?”
Tiba-tiba sesuatu yang tidak Wulan harapkan terjadi.
”Wulan apa kamu bisa memberikan masukan untuk acara kita?”
Semua lamunnya hilang, ditelan ombak yang membasahi unjung rambut sampai ujung kakinya, tubuhnya berubah dingin tidak berasa apapun. Kenapa namaku yang harus disebut? Melihat senyum dari perjaka itu, membuat Wulan semakin membeku. Malam semakin larut, penantian yang ditunggu dari bibir tipis wanita berkerudung biru dengan pakaian berwarna sedikit menyamai warna anggrek ungu, membuat para hadirin bisu menatapnya. Wulan berusaha memutar otak memikirkan pertanyaan yang diberikan padanya, tidak ingin hanya senyum yang mengakhiri alunan musik yang didendangkan Rais, setidaknya komentar indah mengalun. Dengan keraguan perlahan membuka mulutnya, memang sedikit susah tetapi ia paksakan.
”Sebelumnya aku minta ma’af, ini cuma sekedar masukan aja. Salah satu dusun di desa kita terkenal sebagai daerah kurang mampu. Di sana banyak orang yang membutuhkan bantuan, meskipun kita tidak bisa membantu banyak mungkin diadakan acara mengaji bersama, bakti sosial, ada sedikit pembelajaran bagi mereka baik kalangan anak-anak, remaja, dewasa maupun yang sudah lanjut usia, buka bersama dan mungkin bisa ditutup dengan tarawih berjama’ah di masjid.”
”Sungguh masukan yang luar biasa, tetapi bagaimana dengan anggaran dananya? Saldo yang kita punya menipis.”
Wulan bisa bernafas dengan lega. Pujian yang dilontarkan Rais untuknya, entah memuji karena benar-benar mengagungi masukan emas yang dia lontarkan atau sekedar menyenankan hatinya, Wulan tidak tahu. Yang dia tahu sekarang hatinya telah dipenuhi dengan cahaya.
”Anggaran dana bisa kita peroleh dari donatur,” tambah Firman.
Firman merupakan salah satu remaja masjid yang mengabdi siang sampai malam untuk menjaga dan membersihkan masjid. Dia sempat dicalonkan menjadi ketua remaja masjid, tetapi tanpa berpikir panjang dia menolak, alasannya cukup sederhana dia sudah bangga menjadi anggota. Firman dan Wulan sudah berteman baik, orang tua mereka sangat akrab. Ibu Wulan pernah berkata ingin sekali punya menantu seperti Firman.
Setelah beberapa aspirasi mengalir, akhirnya Rais memutuskan akan mengadakan kegiatan yang diajukan Wulan. Tugas telah dibagikan ke masing-masing anggota, semua anggota tidak ada yang terlewatkan satu pun malah ada yang bekerja ganda.
Dentingan jarum jam terdengan mengalun, mengikuti irama nafas insan yang berjuang di jalan-Nya dan seolah berdzikir. Bulan yang nampak jauh dari pandangan, kini mendekat tepat di atas atap masjid. Waktu terus berputar, tidak terasa rapat sudah berjalan kurang lebih dua jam. Mata peserta rapat telihat sayup dan kemerahan, menunjukkan nikmatnya ibadah tidur telah memanggil. Rapat ditutup dengan ucapan hamdalan dan salam. Semua remaja yang datang membubarkan diri dari musyawarah layaknya laron yang berterbangan ketika musim penghujan, tidak terkecuali Wulan. Dia harus sebatang kara menelusuri setapak menuju kediaman, sebab ditengah rapat Sekar pamit pulang ada keperluan. Hanya satu dua orang yang sejalur dengannya, tetapi mereka seperti dikejar anjing. Wulan ingin menikmati malam nifsu sya’ban bersama keajaiban malam, tidak setiap hari dia bisa merasakan kenikmatan yang disuguhkan oleh Sang Penguasa langit dan bumi.
”Tidak baik perempuan pulang sendiri.”
Terdengar suara yang tidak asing baginya, seketika Wulan menoleh ke belakang. Dan dugaannya tepat.
”Sudah biasa pulang sendiri. Di jalan juga gak ada apa-apa kok.”
Laki-laki itu kemudian mendekat menyamai langkah perempuan berkudung biru itu. Dia tersenyum memandang lurus ke depan, kembali Wulan dibuat bingung dengan perasaan yang membuat jantungnya terus berdegup kencang. Biarkan perasaan ini menari menghiasi keindahan malam. Wulan meneruskan perjalanan ditemani laki-laki yang belum dikenalnya lama.
”Kalau boleh tahu, darimana kamu tahu namaku?”
”Laki-laki yang merugi jika tidak mengenalmu. Seorang wanita yang tersohor di desa, terkenal rupawan, dikarunia oleh kecerdasan dan bermasyarakat. Ibuku sering bercerita tentang keluargamu dan jasa-jasamu mengabdi di desa. Jadi, tidak menutup kemungkinanku untuk langsung mengingat namamu. Dengar-dengar dalam waktu dekat ini kamu menyandang gelar sebagai sarjana?”
”Insya Allah, saya minta banyak do’anya semoga diberi kelancaran.”
”Pasti. Sekarang kesibukanmu apa?”
Jangkrik yang sebelumnya terdengar bernyanyi bersaut-sautan, berhenti mendengarkan alunan canda tawa yang mengalir seraya air pegunungan yang mengawali perkenalan mereka berdua. Wulan sangat mudah menyesuaikan dengan lawan bicara dan akrab dengan siapa saja. Pujian yang Rais berikan ke Wulan tidak cuma rayuan belaka, Wulan memang wanita yang pekerja keras tidak hanya di desa, sekabupaten pada mengenal sosoknya. Kini dia diangkat menjadi guru tidak tetap atau biasa disebut GTT di salah satu sekolah menengah pertama di bawah pimpinan pamannya sendiri. Sejak awal menginjakkan kaki di tanah kelahirannya setelah sepuluh tahun di kota metropolitan kedua di Indonesia, Rais sangat mengagumi anugerah yang dimiliki anak tunggal yang sekarang di sampingnya. Laki-laki itu berniat menetap di desa yang membesarkan dan mengisi masa kecilnya. Sebenarnya Rais dan Wulan bukan teman baru, karena waktu yang telah memisahkan mereka membuat sedikit memori masa kecil terhapus oleh wajah yang berubah cantik dan tampan.
Bahasa tubuh Wulan telah mengisyaratkan perpisahan bersama Rais pada malam terang benderang ini. Wulan terus tersenyum menatapi bulan yang kiranya mengerti perasaan yang dia rasakan. Enggan ia meninggalkan pandangan bayangan laki-laki yang membuat seluruh tubuhnya berubah dingin dan panas. Matanya tidak berhenti menatap bulan, mencoba menerawang rahasia bulan yang tak terkuak sampai sekarang. Sesaat kemudian perasaan dalam dirinya berubah bercampur menjadi sebuah ketakutan, dia telah melupakan cintanya pada Dzat yang hakiki.
”Astagfirullah…Kenapa hatiku dipenuhi oleh bisikan setan yang berusaha mengajakku melupakan-Mu? Tidak sepantasnya hamba mencintai lawan jenis yang belum halal bagi hamba melebihi cintaku pada-Mu.”
Bulan penuh berkah telah menyapa semua makhluk yang telah menantikannya. Bulan dimana semua pahala dilipat gandakan, dibukanya pintu-pintu rahmat dan ditutupnya pintu jahanam dan setan dibelenggu. Wulan ditemani ibunya mempersiapkan keperluan untuk acara megengan yang menjadi tradisi mengawali bulan ramadhan di desanya. Wulan terus mengamati setiap langkah yang ibunya lakukan, sebentar lagi dia juga akan menghadapi tuntutan sebagai seorang ibu rumah tangga.
Nduk, tatangga-tetangga pada membicarakan kamu. Mereka bilang kamu sering pulang malam ditemani dengan putranya Bu Izza.”
”Omongan orang kok didengar, bu.”
”Kamu anak perawan Ibu satu-satunya. Ibu tidak melarang kamu dekat dengan dia, kamu juga sudah dewasa, waktunya berumah tangga. Tetapi tidak sewajarnya kamu akrab dengan dia melebihi sebatas teman, apa kata orang kalau sampai terjadi apa-apa.”
”Dia hanya teman, bu. Hubunganku dengannya tidak jauh beda seperti Firman yang sudah aku anggap saudara sendiri.”
Suasana menjadi hening, pembicaraan membuat Wulan dipaksa untuk memikirkan masa depan. Setiap malam kedua orang tuannya menyindir dengan membahas keinginan menggendong cucu. Kecantikan dan kecerdasaannya tidak menjamin mudahnya dia memilih pasangan.
”Keluarga Firman telah memintamu menjadi menantunya, mereka tinggal menunggu jawabanmu. Ibu tidak menutup samudera untuk semua ikan yang menginginkannya.”
”Iya bu, tetapi belum tentu samudera itu cocok dengan semua ikan.”
Ibunya terdiam. Memang tidak mudah mencarikan calon suami sebagai pendamping putri satu-satunya. Wulan sendiri tidak mau gegabah menentukan lelaki yang akan menjadi pemimpinnya dan anak-anaknya.
Setelah acara megengan dilaksanakan, semua warga berbondong-bondong mengisi shaf untuk menyambut datangnya bulan suci ramadhan dengan melakukan sholah tarawih bersama. Masjid yang biasanya tidak pernah penuh dengan sesak manusia, di bulan yang agung dan penuh berkah semua sudut telah terpenuhi sampai ada yang berada di halaman depan masjid menggelar tikar. Angin malam yang dingin menusuk tidak mengusik niat mereka bersujud mendirikan sholat sunnah tarawih. Di Indonesia beragam jumlah rakaat tarawih yang ditegakkan mewarnai budaya bangsa, sedikit pun perbedaan itu tidak menjadi suatu perpecahan.
”Lan, kamu nanti ikut rapat?”
”Mungkin cuma sebentar, ibuku di rumah sendiri. Ayah menjenguk nenek.”
”Makanya, Lan. Kamu ndang nikah. Biar dapat momongan, ibumu jadi punya teman. Kamu jadi tidak kawatir jika meninggalkan beliau di rumah sendirian.”
”Aku nikah atau tidak sama aja. Kamu sendiri juga masih single gitu kok.” Bernada halus menyindir Sekar.
Persiapan untuk acara yang akan diadakan remas sudah hampir beres. Semua kebutuhan yang telah diperlukan telah terpenuhi. Namun koordinasi antar anggota tetap ditingkatkan. Firman sebagai ketua pelaksana ditemani Rais membuka rapat, diikuti laporan dari setiap seksi tentang kinerja mereka. Pikiran Wulan tidak dalam forum itu, melayang entah kemana tak tahu arah. Melihat pemimpin-pemimpin rapat di depan, dia teringat pembicaraan dengan ibunya tadi pagi di dapur. Lamunannya membuat semua pertanyaan yang diajukan ke dia menjadi angin lalu, ibarat panah yang tidak menusuk sampai ke kulit dan seperti daun gugur dari pohonnya yang tidak berarti.
”Lan, kamu sedang sakit?”
”Ma’af aku mau pulang, ibu tidak mengijinkan aku pulang malam-malam.”
”Assalamu’alaikum…”
”Wa’alaikum salam…”
Semua mata terpana melihatnya, Wulan yang selalu profesional di setiap acara apapun kini telah berubah. Meskipun ibunya atau ayahnya sendirian di rumah, tidak pernah sedikitpun meninggalkan rapat dengan ketidakmengertian.
”Katanya ada rapat, Nduk?”
”Wulan ngantuk.”
Walaupun pikirannya dipenuhi dengan duri yang sewaktu-waktu bisa menusuknya, dia tetap berusaha menutupi kegelisahan yang ada didirinya pada teman-temannya. Bulan puasa dengan sejuta keajaibannya menjadi do’a harapan bagi Wulan. Masalah yang dia hadapi menjadi ujian untuk memenuhi arti dari bulan yang diberkahi. Puasa telah menginjak hari ke-20, seperti yang disepakati sebelumnya dalam rapat bahwa hari ini akan diadakan acara di salah satu dusun yang ada di desa.
Firman memberikan sambutan yang menjadi pembuka acara pagi tersebut, semua kalimat yang dia keluarkan sangat bermakna dan penuh hati-hati. Hampir tidak ada kesalahan sedikitpun dalam bait-bait yang dia lantunkan baik segi tata bahasa maupun tingkat kesopanan. Hati setiap wanita akan dibuat terkesima jika menyaksikannya.
Laki-laki seperti dialah yang akan mengisi hati yang kosong? Hanya sebatas masalah berumah tangga otak Wulan tidak berhenti bekerja. Setiap malam hanya kepada-Nyalah, dia mencurahkan segala kegundahan untuk memperoleh sebuah jawaban yang terbaik.
Tidak begitu lama Rais menghampiri Wulan, namun dia berhenti tepat di depannya dan Sekar. Membelakangi keberadaan mereka, sedikit menjauh sekitar lima puluh senti meter.
Atau perasaan kepada dia menuntunku membangun keluarga yang berlandaskan cinta. Sungguh teka-teki ilahi, hanya takdir yang akan menjawab bahtera yang mengusik ketenteramanku.
”Seandainya Rais menjadi pendamping hidupku, pasti aku akan bahagia.”
Ungkapan yang lirih dan tulus. Sekar terperanjak kaget mendengar kalimat itu tiba-tiba muncul dari mulutnya. Wulan semakin dibuat tidak mengerti dengan rencana yang dibuat Tuhan padanya. Sudah hampir bertahun-tahun Sekar dan Wulan bersama-sama berbagi suka dan duka, selalu mencurahkan semua kegudahan dan perasaan, tetapi di saat masalah cinta menyandung mereka. Kenapa tidak ada sedikitpun niat untuk mereka saling bercerita. Haruskah aku berbagi cinta dengan sahabatku sendiri. Kegelisahan semakin menjadi-jadi.    
Selang beberapa waktu kemudian tiap anggota dibagi menjadi beberapa kelompok untuk memberikan sumbangan kepada warga yang tidak mampu yang dituangkan dalam bakti sosial ke rumah-rumah warga. Wulan kedapatan kelompok dengan Firman, sedangkan Sekar dengan Rais. Sebelumnya Wulan berharap yang menemani kegundahan hatinya adalah orang yang kini menyelimuti perasaannya, tetapi keputusan tetap di tangan seorang pemimpin. Perasaan dan logika sangat susah untuk disatukan. Bulan yang Wulan lihat setiap malam, terbentang jarak dan ruang.
”Lan, kamu sakit? Kalau badanmu tidak enak mending kamu istirahat aja. Tidak apa-apa pekerjaan ini aku yang kerjakan.”
”Kayak kamu tidak kenal aku, Fir.”
”Tidak usah dipaksakan, wajahmu terlihat pucat.”
Kamu begitu baik, tidak terlihat cacat sedikitpun di mataku. Tetapi apakah cinta bisa tumbuh tiba-tiba tanpa pupuk yang menjadikannya tanaman berbuah yang setiap saat dapat dipetik? Kehangatan bersamamu menjadi kakak di setiap langkahku, sebuah penyemangat di saat aku terjatuh. Akankah merubah jantung yang stabil menjadi berdetak kencang?
Melihat kebersamaan Sekar dengan Rais asa yang dirasakan Wulan berhenti berharap, dalam persahabatan Wulan dan Sekar tidak mengenal saingan. Setelah mengadakan bakti sosial, mereka mengajak anak-anak yang biasanya meminta-minta di tepi jalan, meraup uang receh untuk sesuap nasi. Pembagian kelompok tidak berubah, tetap sama seperti kesepakatan awal. Hati Wulan semakin tercabik-cabik terbakar cemburu melihat kebahagiaan sahabatnya bersama orang yang dia cintai, dengan ikhlas dan sabar mereka mengajari anak-anak kecil seperti halnya mengajari anak-anak mereka. Tidak ada hasrat untuk mengancurkan benih-benih cinta yang bersemi.
Wulan akhirnya memutuskan untuk membantu teman-teman yang bagian konsumsi untuk menyiapkan makanan dan minuman buka puasa. Tubuh yang tertusuk duri tidak mungkin sanggup menahan sakit.
”Perlu aku bantu?”
”Tidak perlu, Sekar lebih membutuhkan bantuanmu.”
”Akhir-akhir ini aku lihat kamu sering murung?”
”Pekerjaan di rumah sangat melelahkan.”
Siang berganti malam, terdengar suara adzan magrib berkumandang. Wulan bahagia bisa berada ditengah-tengah kebahagiaan orang lain, namun tidak dapat dibohongi kegelisahannya tetap merajai setiap nafasnya.
Setelah sholah tarawih berjama’ah, menutup acara pada hari ini. Panitia beres-beres dan melakukan evaluasi. Kepanitiaan dibubarkan dan semua remaja masjid kelihatan letih. Wulan berjalan sendiri, dia ingin perasaannya tenang bersama malam. Bulan semakin redup karena telah mencapai kesempurnaan, vasenya untuk mengurangi pantulan cahaya.
”Wulan, tunggu.”
Rais berusaha mengejanya, langkah Wulan berusaha dipercepat. Namun apa daya langkah seorang wanita.
”Kenapa terburu-buru?”
”Ibu sedang menunggu di rumah.”
Rais menghentikan langkan Wulan, dia berdiri tepat di depannya.
”Ijinkan aku berbicara empat mata denganmu sebentar.”
”Apa tidak bisa dibicarakan besok?”
”Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu yang mengganjal dalam diriku.” Wulan terdiam. ”Sejak aku mengenalmu, aku melihat mawar yang indah. Baunya wangi, kecantikan wajahnya mempesona, tidak pernah melarang serangga menghisap madunya. Aku hanya ingin meminta ijin untuk memetiknya.”
Wulan bukan ahli menerjemahkan kata-kata kiasan, mungkin sedikit mengerti maksud yang diutarakan Rais. Tetapi dia hanya diam membisu. Air mata yang berusaha dia tahan sedikit menetes ke pipi mulusnya, namun dengan mudah dia menyembunyikan.
”Puasa tinggal 10 hari lagi, aku akan menunggu jawabanmu di sini pada malam takbiran saat kemenangan dikumandangkan. Memutuskan sesuatu harus tenang dan pertimbangan yang sangat matang. Jika jawabannya kamu mengijinkan tangan ini memetik bunga untuk mengarungi samuderamu, aku dan keluargaku akan menemui keluargamu pada hari semua umat islam menyatakan menang saling mengucapkan kata maaf. Aku berharap jika kebahagiaan menyelimuti hari rayaku tahun ini.”
”Akan ku berikan jawaban yang terbaik.”
Rasa bahagia menemani langkahnya pulang menuju rumah. Wulan sebernarnya tidak perlu menunggu lama untuk menjawabnya. Bunga yang bermekaran siap kapanpun dipetik olehnya. Namun sebuah keputusan perlu ijin dari-Nya. Meskipun orang tuanya tidak pernah memaksakan kehendak anaknya, tetapi Ibunya tetap berharap yang menjadi pendampingnya adalah Firmah. Tiba-tiba rasa bersalahnya ke sahabatnya juga muncul. Wulan yakin jika menerima pinangan Rais, sahabatnya tidak akan marah. Perasaan perempuan yang dinampakkan dan yang ada di dalam hati sangat mudah ditutupi, Sekar bisa saja bilang dia bahagia dengan kebahagian yang Wulan dan Rais rasakan, tetapi di saat itulah Sekar menangis.
”Sudah pulang, Nduk?”
”Firman tadi menunggumu sangat lama, dia hanya ingin meminta kejelasan lamarannya tempo hari.”
”Kenapa dia tidak menemui aku langsung?”
”Saran ibu segeralah memberikan jawaban padanya, jangan memberikan harapan kosong seperti ini. Apapun jawabannya kami sebagai orang tua akan mendukung, pihak Firman juga akan menerima. Kamu juga harus ingat usia, kamu semakin tua tidak tambah muda.”
Wulan hanya tersenyum dan mengangguk, kemudian masuk kamar. Sebenarnya dia ingin sekali bercerita kepada ibu dan ayahnya masalah Rais, tetapi sekarang belum tepat. Malah akan menambah malasah menjadi panjang. Keluaga Wulan, Rais dan Firman sangat akrab dan sudah menjadi saudara sendiri, tidak mungkin dengan masalah seperti ini menghancurkan persaudaraan yang bertahun-tahun mereka bina.
Tiap malam dia bersimpuh menengadah meminta petunjuk yang terbaik untuk masa depannya, hari terus berganti belum ada titik terang. Wulan tidak berani keluar rumah, nyalinya begitu ciut jika harus bertemu Firman dan Rais.
Desakan dari orang tuanya memaksa dia untuk menceritakan masalah Rais kepada keluarganya. Cahaya tetap tak terlihat. Harus bagaimana ia berusaha menyelesaikan masalah ini. Waktu terus berputar, keputusan juga harus segera diperoleh. Harapan memperoleh berkah yang luar biasa dibanding ramadhan-ramadhan sebelumnya yang dimunajatkan oleh Wulan.
Tinggal satu malam, bulan juga semakin tidak terlihat hanya bayangan bulat yang menunjukkan keberadaannya. Wulan semakin cemas. Do’anya belum dijawab-Nya.
Gelap diseperempat malam mendorong Wulan membasuh sebagian tubuhnya dengan niat menyucikan diri guna untuk menghadap-Nya. Rakaat demi rakaat ia didirikan, mengingat semua kemelut kisah cintanya tidak bisa membendung air mata yang membanjiri pipi dan sajadah. Setelah sholat malam ia kerjakan, kemudian termenung sejenak. Memandang langit-langit dan menengadahkan tangan, berharap semua ujiannya dapat terselesaikan tanpa harus melukai orang-orang yang dia sayang.
Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Hanya kepada-Mulah hamba berserah diri dan meminta pertolongan. Ya Allah Dzat yang Agung dan Pemberi nikmat. Hamba memohon kepada-Mu tunjukkan jalan lurusmu. Berikan hamba pilihan yang terbaik. Hamba tidak ingin menyakiti perasaan siapapun. Jika Rais atau Firman yang terbaik bagi hamba  menerimanya, namun jika bukan kedua-duanya hamba ikhlas. Di bulan yang penuh berkan ini, hamba meminta segala ridho-Mu. Robbanaatinafiddunya khasanah wafilaqiroti khasanah wakina adzabannar. Aamiin.
Aroma melati yang bermekaran di depan rumah Wulan telah menyapa fajar yang terlihat anggun di ufuk timur. Udara pagi hari yang bersih menyejukkan hati dan pikiran. Wulan telah siap menghadapi semua keputusan yang akan dia berikan nanti di malam kemenangan, dia juga sudah menyiapkan jawaban terbaik untuk keluarga Firman. Selain itu, dia berusaha tidak akan menyakitkan sahabatnya tercinta, Sekar.
Ayah dan Ibunya berkumpul di ruang tamu menikmati sejuknya mentari. Wulan tersenyum menatap raut wajah kedua orang tua yang telah membesarkan dan merawatnya hingga dia sukses.
”Ayah Ibu dengan bismillah saya putuskan untuk menolak lamaran Firman, saya tidak bisa menikah dengan orang yang sudah saya anggap sebagai kakak sendiri. Tolong sampaikan pada mereka. Saya benar-benar minta ma’af”
”Semua keputusanmu menjadi kebahagiaan kami, Nduk. Berarti kamu menerima pinangan dari putranya Bu Izza.”
”Nanti saya kabari. Keputusannya baru nanti malam.”
Adzan magrib terdengan nyaring, buka puasa terakhir di bulan suci ramadhan. Kumandang kemenangan telah terdengar di mana-mana. Takbir yang ditunggu Rais, akan menjadi akar baru dalam dirinya.
”Di sini aku berjanji menunggu jawabanmu. Apapun jawabannya aku akan menerima dengan lapang dada.”
”Bulan yang dipenuhi berkah telah menjadikan hadiah terindah dalam hidupku, termasuk anugerah mengenalmu. Sebuah tunas telah kamu tanam, namun terkadang tunas itu menjadi bumerang bagiku.”
Suasana hening, namun takbir-takbir kemenangan terdengan hingga di hati paling dalam. Usaha menahan makan, minum, dan nafsu, sekarang telah terbayar mahal. Rencana Allah sungguh indah, tidak ada yang mengerti dan tidak bisa ditebak, bahkan nalar pun tidak sanggup menembus kuasa-Nya.    
”Bunga di bawah langit bertabur bintang, ku meminta jawaban yang agung dan bijaksana.”
”Kumandang takbir telah menjawabnya”

*** SEKIAN ***

1 komentar:

  1. Suasana hening, namun takbir-takbir kemenangan (terdengan) hingga di hati paling dalam.
    keren.. keren.. meski ada beberapa kata yang salah ketik :D

    BalasHapus