Jumat, 02 Agustus 2013

DIA, DI ANTARA BATAS MIMPI


Pertama kali dia mengenalkan daerah asalnya ke kalayak umum, guna memenuhi tugas kebudayaan Indonesia. Dia tak tahu kalimat apa yang pantas untuk mengawali presentasinya.
”Kisah Panji Laras dan Panji Liris yang dipinang putri Adipati Kediri merupakan salah satu cerita yang tidak asing di telinga masyarakat Lamongan.” Rahma memulai berdongen di depan kelas. Serentak teman-temannya antusias mendengar kata demi kata yang dia lantunkan. ”Cerita menyebutkan bahwa pernikahan mereka karena adanya indikasi politik terhadap wilayah Lamongan.”
Tiba-tiba di sela-sela pemaparannya, pintu bergaya Belanda terbuka perlahan. Suara pintu bercat abu-abu itu membuyarkan perhatian para mahasiswa yang serius mendengarkan cerita wanita mungil berkerudung putih. Secepatnya Ayu menutup pintu dan langsung nimbrung duduk dikursi paling pojok belakang. Bu Irma memperlisahkan Rahma melanjutkan tugas presentasi tradisi lisan. Rahma yang sudah terbiasa berbicara di depan audien langsung dengan mudah mengondisikan ruangan. 
”Bupati Lamongan selaku ayah Panji Laras dan Liris mengajukan syarat kepada Putri Andanwangi dan Andansari sebagai pelamar sekaligus mempelai perempuan untuk bersedia menjadi muallaf dan membawa gentong air serta alas tikar yang terbuat dari batu ketika pernikahan akan berlangsung.” Diambilnya foto yang sejak tadi berada di meja dosen, dia tunjukkan bukti artefak berupa foto gentong air dan alas tikat yang terbuat dari batu. Foto tersebut diambil di masjid agung Lamongan. ”Namun ketika dua putri kembar tersebut hendak menyeberang sungai, mereka mengangkat kainnya hingga ke paha agar tidak basah, terlihat betis mereka berbulu lebat seperti bulu kuda. Panji Laras dan Panji Liris yang ditugasi menjemput Putri Andanwangi dan Putri Andansari langsung membatalkan pernikahan melihat kejadian tersebut.”
”Putri Andanwangi dan Putri Andansari mendengar berita tersebut merasa terhina, kemudian bunuh diri. Melihat junjungan mereka dihina dan dipermalukan sehingga sampai bunuh diri, orang-orang Kediri sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris, sehingga perang pun tak bisa terhindarkan lagi. Melihat nyawa Panji Laras dan Panji Liris dalam bahaya, maka Ki Patih Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk melindungi mereka, sehingga akhirnya Ki Patih Mbah Sabilan harus tewas dalam rangka melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris. Setelah patihnya tewas, orang-orang Lamongan pun semakin terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji Liris pun ikut tewas tanpa diketahui jenazahnya.”
”Tidak puas hanya menewaskan Ki Patih Mbah Sabilan serta Panji Laras dan Panji Liris, orang-orang Kediri itu pun semakin merangsek maju bahkan sampai ke pendopo kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten, Bupati Lamongan ikut gugur. Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Bupati Lamongan sempat berpesan agar nanti anak cucunya tidak boleh menikah dengan orang Kediri.”
Ketika dibuka sesi tanya jawab banyak mahasiswa yang tertarik, terlontar sebuah pertanyaan yang membuatnya kehilangan mood. ”Dengan adanya cerita tersebut apa akibat yang terjadi di masyarakat Lamongan dan Kediri sekarang?”
Suaranya lirih, berat untuk didengarkan. ”Dengan adanya cerita tersebut muncullah mitos larangan menikah antara orang Lamongan dan Kediri, masyarakat percaya jika dilanggar akan membawa malapetaka. Tetapi, kembali ke pribadi masing-masing, kalau aku tak ingin mempercayainya. Jodoh sudah diatur oleh-Nya.”
Setelah mata kuliah kebudayaan Indonesia selesai, Rahma bergegas menuju parkiran, dia terus melangkah maju tanpa menghiraukan panggilan Ayu. Dia berencana pergi ke stasiun, guna membeli tiket sebelum kehabisan. Dia tak mau mebuang waktu sia-sia. Ayu berlari menghampiri Rahma yang sedang kerepotan memasang helm.
Sambil menepuk bahu Rahma, Ayu bertanya dengan semangat, ”Kamu beneran mau pulang hanya untuk acara seperti itu?”
Rahma hanya tersenyum manis.
”Aku boleh ikut gak?” Sambungnya. 
Akhirnya terpaksa Rahma memesan dua tiket kereta logawa ekonomi untuk Sabtu pagi tujuan Stasiun Gubeng. Dua lembar tiket dimasukkan ke dalam dompet, mereka kemudian tancap gas mengarah ke pusat perbelanjaan jam tangan.
”Kalau kamu besok ngaret aku gak mau nunggu,” tegur Rahma kepada sahabatnya.
Dengan gaya yang khas dari Ayu, dia menjawab, ”Aku juga tahu, Cantik. Tenang saja untuk kali ini aku akan ontime. Aku gak akan merusak hari istimewamu.”
Hari yang tertera pada tiket kereta yang mereka pesan akhirnya tiba juga, perjalanan ke Surabaya begitu melelahkan bagi Rahma dan Ayu. Bau Surabaya tercium tidak asing lagi di hidung Rahma, suasana Surabaya tidak berubah, panas, jalanan sesak penuh dengan kendaraan yang lalu lalang. Sejak duduk di kursi kereta Ayu terlelap, ketika membuka mata mulutnya nerocos terus dengan sejuta keluhan. Rahma hanya bernafas panjang menghadapi sahabatnya yang setia menemani tiga tahun lebih masa kuliahnya. Persahabatan mereka terjalin setelah pertemuan pertama yang menyedihkan bagi Rahma. Waktu itu tanpa sengaja kaki Ayu menginjak kacamata kesayangan Rahma, tetapi berkat kejadian itulah tali persaudaan terikat. Rahma tak pernah marah ketika Ayu selalu menjailinya, terasa aneh jika percandaan mereka hilang. Ayu sangat kagum melihat sosok wanita tegar, tak pernah terlontarkan kedustaan di setiap tutur kata, dan kesetiaan yang ada pada diri Rahma. Tak banyak wanita punya komitmen sekuat dia.
Ayu tak berani bertanya apapun pada Rahma, dia mengikuti bayangannya. Rahma terhenti menoleh sebelah kiri, tangannya melambai menghentikan angkutan yang mengarah ke rumah sakit Dr. Soetomo.
”Kita ke kos temanku dulu, Yuli.” Rahma lirih berbisik memberitahu Ayu.
”Kamu sudah siapkan apa saja yang dibutuhkan?” Rahma mengangguk, tanda mengiyakan. ”Sementara ini skenariomu berjalan?” Kedua kali kepalanya mengangguk.
”Setelah adzan magrib kira baru berangkat.”
Berbeda dengan negara-negara yang miskin akan seruan sholat, di tanah air bersaut-sautan berebut memanggil umat manusia untuk mendirikan salah satu rukun islam. Ayu dan Yuli bergegas menunaikan ibadah, sedangkan Rahma dalam masa menstruasinya sibuk menata kue yang dibelinya tadi.
Dia membuka pintu, nyanyian terdengar.
Happy birthday to you...Happy birthday to you...Happy birthday happy birthday...Happy birthday to you.
Terdiam terpana melihat Rahma berada di depannya. Tak pernah terpikir diusianya yang ke 25 tahun, wanita yang biasa ditemuinya sekali dalam setahun kini datang dihadapannya. ”Aku gak mimpi?”
”Selamat ulang tahun Mas...” menyodorkan kue yang atasnya terdapat lilin berbentuk angka 25. ”Berdo’alah untuk kebaikan Mas.”
Laki-laki berperawakan tinggi bersih berpakaian santai memejamkan mata seraya memanjatkan berjuta permohonan, tiupan dari mulutnya mengakhiri nyala api memadamkan lilin.
Malam Minggu di kota yang tak pernah sepi dengan aktivitas kehidupan, dia merayakan ulang tahun bersama beberapa teman kos dan teman Rahma, yang terpenting dia ditemani orang yang paling spesial. Malam semakin larut, bulan punama terlihat terang. Cuaca cerah bersahabat. Rahma beranjak dari duduk mengambil minum di belakang.
Dia menghampiri Rahma. ”Adik cepat lulus ya, Mas tak sabar melihatmu memakai toga dan bersanding menemani hidup Mas. Mas janji di saat Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan bunga terindah adalah Mas. Dengan kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
”Mas...”
”Kapan kau mengenalkan aku pada orang tuamu?” Rahma membisu. ”Hubungan kita bukan permainan lagi. Adik juga sebentar lagi mengenakan toga. Apa salahnya jika Mas meminta keberlanjutan diantara kita?”
Hati Rahma tak tenang, dihari bahagia kekasihnya yang merayakan tanggal kelahiran, dia malah dipenuhi dengan kebimbangan. Entah kenapa ada firasat buruk yang manghampiri, berusaha ia hilangkan namun semaking menguasai jiwanya.
”Apa Adik tidak mencintai Mas?” Dia memulai pembicaraan lagi.
”Dengan semua pengorbanan dan penantian sejauh ini, apakah belum memantabkan keyakinan Mas?”
”Enam tahun Mas mengatakan cinta untukmu, tapi tak sekalipun kau sebutkan nama Mas dalam daftar calon suamimu pada Ayah dan Ibumu.” Dia bernafas panjang, ”Itukah yang disebut penantian?”
Rahma tak dapat menjawab pertanyaan itu dan ijin undur diri dari kediaman kekasihnya. Senja yang menjadi kelabu, cinta yang indah berubah tak menentu.
Perjalanannya kembali ke Yogyakarta diselimuti ketidaktenangan. Ayu pun tak berani mengajak bicara, dia sangat kenal dengan sahabatnya ketika sedang diselimuti kebimbangan. Dia lebih senang mendiamkan dulu teman karibnya untuk bisa berpikir jernih, baru kemudian diajak berdiskusi. Bukan waktu yang tepat untuk mencampuri urusan sahabatnya.                                                            
Selang beberapa minggu setelah kepergiannya ke Surabaya, dia semakin termenung. Di saat kegelisahannya, tiba-tiba Handphone di saku baju Rahma sebelah kiri berdering. Tertulis nama, ”Bunda.”
Nduk, bulan depan tolong pulang ke rumah ada hal yang penting ingin Ayah dan Bunda omongkan. Bunda gak mau ada alasan.”
”Tapi...” belum selesai bicara Bunda memutuskan telepon. ”...Aku bulan depan jadi pemateri di acara bulan bahasa.”
Bunda selalu begitu, semaunya sendiri. Rahma begitu bingung dengan semua masalah yang dalam waktu dekat ini menimpanya, belum lagi dedline menyeleasikan skripsi. Tak tahu dengan siapa dia harus berbagi curahan, sahabatnya juga pasti sedang banyak kegiatan dan tugasnya menjadi mahasiswa semester akhir.
”Bunda tak biasanya menyuruhku pulang tanpa penjelasan.”
”Berpikir positif mungkin Bundamu tidak bisa menceritakan lewat telepon. Jangan kecewakan permintaannya. Sejak aku mengenalmu kau selalu menurut.” Ayu meredakan emosi Rahma yang terus tak terarah.
”Dengan mengorbankan janjiku pada kalangan umum?”
”Banyak yang bisa menggantikanmu. Masalah keluarga tetap yang paling utama.”
”Kamu memang sahabatku yang terbaik.”
Angin terdengar semilir melewati dua wanita yang duduk di kursi berwarna putih. Suara kendaraan yang lewat terdengar keras. Sejak kepulangan mereka dari Surabaya, Rahma menjadi pendiam.
Ayu mengangkat suara kembali, ”Aku lihat hubungan kalian mulai renggang.” Rahma menundukkan kepala mencoba mengalihkan pembicaraan. ”Apa sampai di sini hubungan kalian? Sekarang kamu tertutup tak pernah sepatah katapun mencerikan kelanjutan hubungan kalian. Inikah arti persahabatan?”
”Aku terlalu mencintainya, Yu. Tak sanggup aku berpisah dengannya.”
”Masalahmu dimana?”
Bus dengan kecepatan penuh melaju ke Jawa timur. Dia putuskan untuk mencari pengganti tutor dalam acara bulan bahasa. Jika dia tak penuhi permintaan Bundanya, bisa-bisa pengakuan anak akan hilang. Begitu banyak pertanyaan yang terpikir dalam otaknya, sebegitu penting kehadirannya dalam acara keluarga hingga dia harus absen kuliah beberapa hari. Setelah lelah dalam perjalanan, akhirnya dia sampai di rumah tercinta.
”Karena ini Bunda menyuruhku pulang,” penuh kekecewaan.
”Apa dia kurang tampan? Dia dosen salah satu universitas terkenal di Malang dan pengusaha, Nduk. Apa dia kurang mapan? Dia dari keluarga baik-baik. Apa kurangnya?”
”Cinta,” singkatnya.
”Bunda dan Ayahmu tak mengenal pacaran, cinta kita dibangun setelah menikah. Buktinya kita hidup rukun.” Bunda tak pernah mau dibantah.
”Dengan tidak menganggap Mas Adit sebagai bagian dari keluarga, apakah bisa dikatakan rukun?” Air mata Rahma perlahan menetes.
”Kamu ingin jadi anak durhaka? Membangkan pada orang tua?”
”Haruskah aku hidup di zaman Bunda yang semuanya harus diatur orang tua dan adat istiadat.”
”Kau ingin jadi seperti Masmu? Menganggap tak pernah punya keluarga? Jangan-jangan...”
Rahma terdiam.
”Kau berharap menikah dengan calon dokter yang sedang mangambil profesi di Surabaya itu, orang dari Kediri yang sering kau ceritakan?” Rahma tak menjawab. ”Bukti dari Masmu belum cukup?” Rahma semakin terpojok dan berusaha menahan air mata, meskipun tak terbendung juga. ”Masmu tak pernah menuruti perkataan Bunda. Jangan anggap sepele kepercayaan yang ada di masyarakat. Memaksakan kehendak dengan menikahi wanita gak jelas asal usulnya, mengaku perempuan baik-baik, terpandang dan terpelajar, akhirnya cerai juga. Dan sekarang Masmu lontang lantung gak punya tujuan hidup. Seperti itukah yang kau harapkan?” Bunda duduk mendekat di samping Rahma dan membelai rambutnya. Bunda berbicara lirih, ”Nduk, Bunda sangat menyayangimu. Satu-satunya harapan keluarga hanya di kamu. Cukup Ayah dan Bunda kehilangan Mas Adit.”
Air matanya terus mengalir. ”Dia laki-laki yang baik, Bun. Profesinya dokter, Bunda sering bilang ingin punya menantu dokter. Kita keluarga yang terpelajar. Hanya karena kita masih punya garis keturunan Bupati yang mati entah benar atau salah karena dibunuh orang Kediri, haruskah mempercayai mitos yang gak jelas kebenarannya. Hidup, mati, rezeki dan jodoh hanya Allah yang menentukan, Bun.”
Ayah angkat bicara, ”Seperti ini Bun didikanmu? Jadi anak pembangkang. Jauh-jauh Ayah menguliahkan kamu ke universitas ternama di Yogyakarta. Seperti ini balasanmu, Nduk?” Rahma memeluk Bunda. ”Apakah cintamu ke lelaki itu melebihi penghormatanmu kepada kami? Bukan karena Ayah atau Bundamu percaya akan kepercayaan tersebut. Selagi kita bisa menghindari kenapa tidak. Masmu dulu juga membantah. Apa dia sekarang bahagia?”
”Ayah tidak melarang kau menikah dengan dokter berdarah Kediri itu, tetapi Ayah sangat kecewa jika kau menolak lamaran Nak Arya.”
Kalimat terakhir Ayah bernada pemaksaan.
Rahma tak tahu penjelasan apa yang akan dikatakannya pada orang yang sangat dia cintai melebihi cintanya pada dirinya sendiri. Orang tuanya tak dapat diajak berdiskusi secara baik. Pikirannya campur aduk. Smsnya tak pernah Rahma balas, teleponnya tak juga diangkat. Hatinya tak akan kuat memberikan kabar yang tak mengenakkan dan akan menyakitinya. Kuliahnya terbengkalai, aktivitas kampus terhambat, skipsi tak dapat dia kerjakan, masalah tersebut menghancurkan semua harapannya.
Salahkah aku mencintainya? Tunjukkan kuasa-Mu ya Rob. Hambamu ini hanya meminta jalan yang terbaik atas semua ujianmu.
Meja yang penuh dengan buku-buku penelitian menghiasi pemandangan di sebelah Rahma. Ditengah kesibukannya, tiba-tiba kekasihnya datang ke kampusnya. Rahma terkejut dan memutar otak untuk memulai pembicaraan.
”Mas...”
Dia berjalan mendekat.
”Kapan Mas datang? Kenapa tidak mengabariku?”
”Ratusan kali Mas meneleponmu, ribuan sms mas kirim ke nomermu, tapi apa tanggapanmu?” Rahma tersenyum bimbang. ”Aku tadi telepon Ayu dan dia dilang kamu berada di taman fakultas.”
Rahma membereskan buku dan mengambil tas dan beranjak pergi, ”Mas belum makan? Adik traktir gimana?”
Dia menarik tangan dan mendudukkan Rahma ke kursi.
”Mas suka Gudeg?” Rahma mencoba mencairkan suasana.
”Mas kesini bukan untuk mencicipi makanan khas Yogyakarta atau refreshing. Mas sangat merindukanmu dan Mas ingin tahu kabarmu. Sebenarnya apa yang terjadi?”
”Mas hanya manusia biasa. Jika Mas selama ini salah, benar-benar Mas minta ma’af. Apakah pertanyaan Mas waktu itu membuatmu dalam masalah? Ceritalah, Dik.”
Mata Rahma berkaca-kaca.
”Baiklah jika kamu tidak mau cerita, jangan salahkan Mas jika hubungan ini berakhir buruk. Mungkin memang Mas tak pantas untukmu.”
”Mas...”
”Apakah akan kau biarkan Mas pulang dengan kesedihan?”
Rahma akhirnya menceritakan semua kegundahan dan masalah yang menimpanya. Tersendu-sendu dalam berucap dan menangis. Dia tak mengurangi maupun melebihi cerita, jujur dan apa adanya. Dia pasrah dengan akibat yang akan terjadi padanya.
”Mas ma’afkan aku.”
”Kau tak salah dan tak ada yang salah dalam hal ini. Permasalahanmu hanya akan selesai karena takdir. Jika mungkin akhir hubungan kita seperti yang orang tuamu inginkan. Mas ikhlas. Keputusanmu keputusan Mas. Jadi, apapun yang kau putuskan Mas menerimanya. Mas percaya kau tak pernah salah memilih. Sampai kapanpun, meskipun mas tak bisa bersanding denganmu, cinta Mas kepadamu tak akan berubah.”
”Mas...”
”Usap air matamu, kamu terlihat jelek jika menangis,” tangannya membasuh pipi Rahma. ”Senyum, Adikku.”
”Aku sangat mencintai mas.”
”Mas maupun Adik tak akan mengerti arti cinta. Meskipun hampir setiap hari Mas mengatakan cinta kepadamu. Namun tak akan ada yang tahu hakekat cinta. Simpanlah cinta untuk suamimu kelak. Kamu jangan bersedih, suatu hari Mas akan menjadi saksi kebahagiaanmu.”
Dalam bahasa percakapannya tersirat sebuah perpisahan. Walaupun tak ada kesepakatan putus, namun sudah jelas hubungan mereka hanya akan dijawab oleh takdir. Semenjak pertemuan yang tak disangka akan mengakhiri hubungan mereka, Rahma semakin galau. Meskipun mereka tetap berhubungan baik, namun semua kebiasaan yang menjadi rutinitas berubah. Hal yang sering dilakukan seperti perhatian dan kata-kata penyemangat hilang tergerus perubahan. Terkadang di saat dia termenung, teringat masa lalu bersamanya. Perlahan dia mengerti arti pemberiaan-Nya.
Udara malam menusuk tubuhnya. Burung gagak berceloteh di atas rumah. Seperempat malam membangunkan tidurnya. Rahma ke belakang mengambil air wudlu, terdengar suara burung gagak yang dari tadi malam tak berpindah tempat. Diambilnya air dalam kulkas dan diteguknya dengan syukur atas nikmat-Nya. Tiba-tiba gelas di tangannya terjatuh dan pecah. Dia beristiqfar.
”Apa yang sebenarnya terjadi dengan semua tanda-tanda-Mu?”
Handphonenya berbunyi, seketika dia meraih dan mengangkatnya.
”Innanlillahi wainnaillahirajiun...” Air matanya deras mengalir, handphone yang dia pegang masih aktif menelpon. ”Rahma akan segera pulang, Bun.”
Pemakaman ayahnya berlangsung pagi tadi. Rahma dan Bunda berada di kamar, semua keluarga besar bercengkrama di ruang tamu. Keluarga Mas Arya baru saja mengundurkan diri pamit pulang.
Dia putuskan mengambil cuti dan menghentikan sesaat aktivitas kuliahnya. Impiannya untuk buru-buru memakai toga telah sirna, baginya yang terpenting saat ini adalah ketenangan dan kebahagiaan Bundanya, menyelesaikan semua perkerjaan yang Ayah tinggal. Rahma membantu mengurus dagangan. Bunda sibuk mengajar di sekolah dasar di desa. Semenjak kematian Ayah, Mas Adit balik pulang atas permintaan Bunda. Tak ada pemimpin laki-laki lagi jika Mas Adit tidak kembali dalam keluarga.
Nduk, Bunda berharap kau menjadi sarjana. Teruskanlah perjuanganmu menjadi mahasiswa.”
”Tapi Bun...” Bunda menutup mulutnya perlahan dengan jari telunjuk, alasanku tertahan.
”Urusan dagang dan rumah serahkan ke Bunda dan Mas Adit.”
Perjuangan dia mulai kembali. Semangatnya berkobar hingga pencapaian terpenuhi. Hari yang cerah dan penuh makna. Perjuangannya menjadi mahasiswa terbayar mahal. Rahma lulus dengan cumlaude, Mas Adit dan Bunda menjadi saksi sejarah kebahagiaan yang terukir. Sahabatnya tak bisa hadir, dia mengucapkan selamat lewat email. Ayu sedang melanjutkan master di Belanda. Kebahagiannya tiba-tiba terhenti, ingatannya menelusur ke belakang. Teringat sebuah janji yang pernah terukir.
”Adik cepat lulus ya, Mas tak sabar melihatmu memakai toga dan bersanding menemani hidup Mas. Mas janji di saat Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan bunga terindah adalah Mas. Dengan kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
Janji yang sirna, selalu teringat dan membekas. Harapan Rahma mendapat pinangan dari orang yang enam tahun lebih mengisi hatinya dan mungkin selamanya, kini telah pupus. Bukan pinangan untuknya yang datang, melainkan kabar pujaan hatinya akan menikah, dan undangannya dikirim langsung ke Yogyakarta, kota kenangan. Rahma hancur dan menguras air mata, jiwa dan raganya tak akan sanggup memenuhi undangan tersebut. Namun dia berusaha bangkit kembali, perkataan sahabatnya selalu teringat dan mempunya nyawa mengembalikan hidupnya. Jika kau berjodoh dengannya, tak akan ada yang dapat menghalangi kesaktian cinta kalian. Allah Maha Mengetahui apa yang tidak kau ketahui.
Rahma memenuhi kalimat terakhir yang dia dengan terucap dari mulut Ayah.
Ayu berkunjung ke rumah sahabatnya di Lamongan, sekalian ingin melepas kerinduan. Dia bercanda menghibur Rahma, dia sangat kenal sahabatnya. Rahma tipe orang yang pintar menyembunyikan kesedihan dalam keceriaannya. ”Persiapan pernikahanmu bagaimana, Rahma?”
”Minggu depan aku akan menikah.”
Canda tawa menghiasi pertemuan mereka yang sudah lama terpisahkan waktu dan jarak.
Hari yang sangat ditunggu keluarga Rahma dan pihak mempelai pria, Mas Arya, akhirnya tiba juga. Acara pernikahan Rahma dan Mas Arya berjalan lancar dan sukses, banyak rekan-rekan yang berdatangan. Bunda sangat bahagia, kesedihan Rahma yang mendalam dan menyayat terobati dengan senyum manis wanita yang telah melahirkannya. Rahma akan belajar mencintai orang yang tak pernah dia tulis dalam agenda hatinya. Dalam acara resepsi pernikahan Mas Arya mengenalkan tamu spesial, teman dekatnya ketika kuliah di Surabaya. Sungguh kuasa-Nya luar biasa, tak satupun makhluk-Nya yang tahu.
”Kenalkan sahabat Mas, dokter...”
”Mas...”

1 komentar:

  1. Dalam bahasa percakapannya tersirat sebuah perpisahan. Walaupun tak ada kesepakatan putus, namun sudah jelas hubungan mereka hanya akan dijawab oleh takdir.. sedihnya endingnya.. :'(
    ternyata suaminya sahabat dengan orang yg ingin dinikahi sebelumnya..

    BalasHapus