Pertama kali dia
mengenalkan daerah asalnya ke kalayak umum,
guna memenuhi tugas kebudayaan Indonesia. Dia tak tahu kalimat apa yang pantas
untuk mengawali presentasinya.
”Kisah Panji
Laras dan Panji Liris yang dipinang putri Adipati Kediri merupakan salah satu
cerita yang tidak asing di telinga masyarakat Lamongan.” Rahma memulai
berdongen di depan kelas. Serentak teman-temannya antusias mendengar kata demi
kata yang dia lantunkan. ”Cerita menyebutkan bahwa pernikahan mereka karena
adanya indikasi politik terhadap wilayah Lamongan.”
Tiba-tiba di
sela-sela pemaparannya, pintu bergaya Belanda terbuka perlahan. Suara pintu
bercat abu-abu itu membuyarkan perhatian para mahasiswa yang serius mendengarkan
cerita wanita mungil berkerudung putih. Secepatnya Ayu menutup pintu dan langsung
nimbrung duduk dikursi paling pojok belakang. Bu Irma memperlisahkan Rahma
melanjutkan tugas presentasi tradisi lisan. Rahma yang sudah terbiasa berbicara
di depan audien langsung dengan mudah mengondisikan ruangan.
”Bupati Lamongan
selaku ayah Panji Laras dan Liris mengajukan syarat kepada Putri Andanwangi dan
Andansari sebagai pelamar sekaligus mempelai perempuan untuk bersedia menjadi muallaf dan membawa gentong air serta
alas tikar yang terbuat dari batu ketika pernikahan akan berlangsung.”
Diambilnya foto yang sejak tadi berada di meja dosen, dia tunjukkan bukti artefak berupa
foto gentong air dan alas tikat yang terbuat dari batu. Foto tersebut diambil
di masjid agung Lamongan. ”Namun ketika dua putri kembar tersebut hendak
menyeberang sungai, mereka mengangkat kainnya hingga ke paha agar tidak basah,
terlihat betis mereka berbulu lebat seperti bulu kuda. Panji Laras dan Panji
Liris yang ditugasi menjemput Putri Andanwangi dan Putri Andansari langsung
membatalkan pernikahan melihat kejadian tersebut.”
”Putri
Andanwangi dan Putri Andansari mendengar berita tersebut merasa terhina,
kemudian bunuh diri. Melihat
junjungan mereka dihina dan dipermalukan sehingga sampai bunuh diri,
orang-orang Kediri sangat marah dan ingin membunuh Panji Laras dan Panji Liris,
sehingga perang pun tak bisa terhindarkan lagi. Melihat nyawa Panji Laras dan
Panji Liris dalam bahaya, maka Ki Patih Mbah Sabilan berjuang mati-matian untuk
melindungi mereka, sehingga akhirnya Ki Patih Mbah Sabilan harus tewas dalam
rangka melindungi nyawa Panji Laras dan Panji Liris. Setelah patihnya tewas,
orang-orang Lamongan pun semakin terdesak dan akhirnya Panji Laras dan Panji
Liris pun ikut tewas tanpa diketahui jenazahnya.”
”Tidak puas
hanya menewaskan Ki Patih Mbah Sabilan serta Panji Laras dan Panji Liris,
orang-orang Kediri itu pun semakin merangsek maju bahkan sampai ke pendopo
kadipaten. Dalam pertempuran di pendopo kadipaten, Bupati Lamongan ikut gugur.
Namun sebelum menghembuskan nafasnya yang terakhir, Bupati Lamongan sempat
berpesan agar nanti anak cucunya tidak boleh menikah dengan orang Kediri.”
Ketika dibuka sesi tanya jawab banyak mahasiswa yang
tertarik, terlontar sebuah pertanyaan yang membuatnya kehilangan mood. ”Dengan adanya cerita tersebut apa
akibat yang terjadi di masyarakat Lamongan dan Kediri sekarang?”
Suaranya lirih, berat untuk didengarkan. ”Dengan adanya
cerita tersebut muncullah mitos larangan menikah antara orang Lamongan dan
Kediri, masyarakat percaya jika dilanggar akan membawa malapetaka. Tetapi,
kembali ke pribadi masing-masing, kalau aku tak ingin mempercayainya. Jodoh
sudah diatur oleh-Nya.”
Setelah mata kuliah kebudayaan Indonesia selesai, Rahma
bergegas menuju parkiran, dia terus melangkah maju tanpa menghiraukan panggilan
Ayu. Dia berencana pergi ke stasiun, guna membeli tiket sebelum kehabisan. Dia
tak mau mebuang waktu sia-sia. Ayu berlari menghampiri Rahma yang sedang
kerepotan memasang helm.
Sambil menepuk bahu Rahma, Ayu bertanya dengan semangat, ”Kamu
beneran mau pulang hanya untuk acara seperti itu?”
Rahma hanya tersenyum manis.
”Aku boleh ikut gak?” Sambungnya.
Akhirnya
terpaksa Rahma memesan dua tiket kereta logawa ekonomi untuk Sabtu pagi tujuan
Stasiun Gubeng. Dua lembar tiket dimasukkan ke dalam dompet, mereka kemudian
tancap gas mengarah ke pusat perbelanjaan jam tangan.
”Kalau kamu besok ngaret aku
gak mau nunggu,” tegur Rahma kepada sahabatnya.
Dengan gaya yang khas dari Ayu, dia
menjawab, ”Aku juga tahu, Cantik. Tenang saja untuk kali ini aku akan ontime. Aku gak akan merusak hari istimewamu.”
Hari yang tertera pada tiket kereta
yang mereka pesan akhirnya tiba juga, perjalanan ke Surabaya begitu melelahkan
bagi Rahma dan Ayu. Bau Surabaya tercium tidak asing lagi di hidung Rahma,
suasana Surabaya tidak berubah, panas, jalanan sesak penuh dengan kendaraan yang
lalu lalang. Sejak duduk di kursi kereta Ayu terlelap, ketika membuka mata
mulutnya nerocos terus dengan sejuta keluhan. Rahma hanya bernafas panjang
menghadapi sahabatnya yang setia menemani tiga tahun lebih masa kuliahnya.
Persahabatan mereka terjalin setelah pertemuan pertama yang menyedihkan bagi
Rahma. Waktu itu tanpa sengaja kaki Ayu menginjak kacamata kesayangan Rahma,
tetapi berkat kejadian itulah tali persaudaan terikat. Rahma tak pernah marah
ketika Ayu selalu menjailinya, terasa aneh jika percandaan mereka hilang. Ayu
sangat kagum melihat sosok wanita tegar, tak pernah terlontarkan kedustaan di
setiap tutur kata, dan kesetiaan yang ada pada diri Rahma. Tak banyak wanita
punya komitmen sekuat dia.
Ayu tak berani bertanya apapun pada
Rahma, dia mengikuti bayangannya. Rahma terhenti menoleh sebelah kiri,
tangannya melambai menghentikan angkutan yang mengarah ke rumah sakit Dr.
Soetomo.
”Kita ke kos temanku dulu, Yuli.” Rahma
lirih berbisik memberitahu Ayu.
”Kamu sudah siapkan apa saja yang
dibutuhkan?” Rahma mengangguk, tanda mengiyakan. ”Sementara ini skenariomu
berjalan?” Kedua kali kepalanya mengangguk.
”Setelah adzan magrib kira baru
berangkat.”
Berbeda dengan negara-negara yang miskin
akan seruan sholat, di tanah air bersaut-sautan berebut memanggil umat manusia untuk
mendirikan salah satu rukun islam. Ayu dan Yuli bergegas menunaikan ibadah,
sedangkan Rahma dalam masa menstruasinya sibuk menata kue yang dibelinya tadi.
Dia membuka pintu, nyanyian terdengar.
”Happy birthday to you...Happy
birthday to you...Happy birthday happy birthday...Happy birthday to you.”
Terdiam terpana melihat Rahma berada
di depannya. Tak pernah terpikir diusianya yang ke 25 tahun, wanita yang biasa
ditemuinya sekali dalam setahun kini datang dihadapannya. ”Aku gak mimpi?”
”Selamat ulang tahun Mas...”
menyodorkan kue yang atasnya terdapat lilin berbentuk angka 25. ”Berdo’alah
untuk kebaikan Mas.”
Laki-laki berperawakan tinggi bersih
berpakaian santai memejamkan mata seraya memanjatkan berjuta permohonan, tiupan
dari mulutnya mengakhiri nyala api memadamkan lilin.
Malam Minggu di kota yang tak pernah
sepi dengan aktivitas kehidupan, dia merayakan ulang tahun bersama beberapa
teman kos dan teman Rahma, yang terpenting dia ditemani orang yang paling
spesial. Malam semakin larut, bulan punama terlihat terang. Cuaca cerah
bersahabat. Rahma beranjak dari duduk mengambil minum di belakang.
Dia menghampiri
Rahma. ”Adik
cepat lulus ya, Mas tak sabar melihatmu memakai toga dan bersanding menemani
hidup Mas. Mas janji di saat Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan
bunga terindah adalah Mas. Dengan kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
”Mas...”
”Kapan kau mengenalkan aku pada
orang tuamu?” Rahma membisu. ”Hubungan kita bukan permainan lagi. Adik juga sebentar
lagi mengenakan toga. Apa salahnya jika Mas meminta keberlanjutan diantara kita?”
Hati Rahma tak tenang, dihari
bahagia kekasihnya yang merayakan tanggal kelahiran, dia malah dipenuhi dengan
kebimbangan. Entah kenapa ada firasat buruk yang manghampiri, berusaha ia
hilangkan namun semaking menguasai jiwanya.
”Apa Adik tidak mencintai Mas?” Dia
memulai pembicaraan lagi.
”Dengan semua pengorbanan dan
penantian sejauh ini, apakah belum memantabkan keyakinan Mas?”
”Enam tahun Mas mengatakan cinta
untukmu, tapi tak sekalipun kau sebutkan nama Mas dalam daftar calon suamimu
pada Ayah dan Ibumu.” Dia bernafas panjang, ”Itukah yang disebut penantian?”
Rahma tak dapat menjawab pertanyaan
itu dan ijin undur diri dari kediaman kekasihnya. Senja yang menjadi kelabu,
cinta yang indah berubah tak menentu.
Perjalanannya kembali ke Yogyakarta
diselimuti ketidaktenangan. Ayu pun tak berani mengajak bicara, dia sangat
kenal dengan sahabatnya ketika sedang diselimuti kebimbangan. Dia lebih senang mendiamkan dulu
teman karibnya untuk bisa berpikir jernih, baru kemudian diajak berdiskusi.
Bukan waktu yang tepat untuk mencampuri urusan sahabatnya.
Selang beberapa minggu setelah kepergiannya ke
Surabaya, dia semakin termenung. Di saat kegelisahannya, tiba-tiba Handphone
di saku baju Rahma sebelah kiri berdering. Tertulis
nama, ”Bunda.”
”Nduk, bulan depan tolong
pulang ke rumah ada hal yang penting ingin Ayah dan Bunda omongkan. Bunda gak
mau ada alasan.”
”Tapi...” belum selesai bicara Bunda
memutuskan telepon. ”...Aku bulan depan jadi pemateri di acara bulan bahasa.”
Bunda selalu begitu, semaunya
sendiri. Rahma begitu bingung dengan semua masalah yang dalam waktu dekat ini
menimpanya, belum lagi dedline menyeleasikan skripsi. Tak tahu dengan
siapa dia harus berbagi curahan, sahabatnya juga pasti sedang banyak kegiatan
dan tugasnya menjadi mahasiswa semester akhir.
”Bunda tak biasanya menyuruhku
pulang tanpa penjelasan.”
”Berpikir positif mungkin Bundamu
tidak bisa menceritakan lewat telepon. Jangan kecewakan permintaannya. Sejak
aku mengenalmu kau selalu menurut.” Ayu meredakan emosi Rahma yang terus tak
terarah.
”Dengan mengorbankan janjiku pada
kalangan umum?”
”Banyak yang bisa menggantikanmu.
Masalah keluarga tetap yang paling utama.”
”Kamu memang sahabatku yang
terbaik.”
Angin terdengar semilir melewati dua
wanita yang duduk di kursi berwarna putih. Suara kendaraan yang lewat terdengar
keras. Sejak kepulangan mereka dari Surabaya, Rahma menjadi pendiam.
Ayu mengangkat suara kembali, ”Aku lihat
hubungan kalian mulai renggang.” Rahma menundukkan kepala mencoba mengalihkan
pembicaraan. ”Apa sampai di sini hubungan kalian? Sekarang kamu tertutup tak
pernah sepatah katapun mencerikan kelanjutan hubungan kalian. Inikah arti
persahabatan?”
”Aku terlalu mencintainya, Yu. Tak
sanggup aku berpisah dengannya.”
”Masalahmu dimana?”
Bus dengan kecepatan penuh melaju ke
Jawa timur. Dia putuskan untuk mencari pengganti tutor dalam acara bulan
bahasa. Jika dia tak penuhi permintaan Bundanya, bisa-bisa pengakuan anak akan
hilang. Begitu banyak pertanyaan yang terpikir dalam otaknya, sebegitu penting
kehadirannya dalam acara keluarga hingga dia harus absen kuliah beberapa hari.
Setelah lelah dalam perjalanan, akhirnya dia sampai di rumah tercinta.
”Karena ini Bunda menyuruhku
pulang,” penuh kekecewaan.
”Apa dia kurang tampan? Dia dosen
salah satu universitas terkenal di Malang dan pengusaha, Nduk. Apa dia
kurang mapan? Dia dari keluarga baik-baik. Apa kurangnya?”
”Cinta,” singkatnya.
”Bunda dan Ayahmu tak mengenal
pacaran, cinta kita dibangun setelah menikah. Buktinya kita hidup rukun.” Bunda
tak pernah mau dibantah.
”Dengan tidak menganggap Mas Adit
sebagai bagian dari keluarga, apakah bisa dikatakan rukun?” Air mata Rahma
perlahan menetes.
”Kamu ingin jadi anak durhaka?
Membangkan pada orang tua?”
”Haruskah aku hidup di zaman Bunda
yang semuanya harus diatur orang tua dan adat istiadat.”
”Kau ingin jadi seperti Masmu?
Menganggap tak pernah punya keluarga? Jangan-jangan...”
Rahma terdiam.
”Kau berharap menikah dengan calon dokter yang sedang mangambil profesi di Surabaya itu, orang dari Kediri
yang sering kau ceritakan?” Rahma tak menjawab. ”Bukti dari Masmu belum cukup?”
Rahma semakin terpojok dan berusaha menahan air mata, meskipun tak terbendung
juga. ”Masmu tak pernah menuruti perkataan Bunda. Jangan anggap sepele kepercayaan
yang ada di masyarakat. Memaksakan kehendak dengan menikahi wanita gak jelas
asal usulnya, mengaku perempuan baik-baik, terpandang dan terpelajar, akhirnya
cerai juga. Dan sekarang Masmu lontang lantung gak punya tujuan hidup.
Seperti itukah yang kau harapkan?” Bunda duduk mendekat di samping Rahma dan
membelai rambutnya. Bunda berbicara lirih, ”Nduk, Bunda sangat
menyayangimu. Satu-satunya harapan keluarga hanya di kamu. Cukup Ayah dan Bunda
kehilangan Mas Adit.”
Air matanya terus
mengalir.
”Dia laki-laki yang baik, Bun. Profesinya dokter, Bunda sering bilang ingin
punya menantu dokter. Kita keluarga yang terpelajar. Hanya karena kita masih
punya garis keturunan Bupati yang mati entah benar atau salah karena dibunuh
orang Kediri, haruskah mempercayai mitos yang gak jelas kebenarannya. Hidup, mati,
rezeki dan jodoh hanya Allah yang menentukan, Bun.”
Ayah angkat bicara, ”Seperti ini Bun
didikanmu? Jadi anak pembangkang. Jauh-jauh Ayah menguliahkan kamu ke
universitas ternama di Yogyakarta. Seperti ini balasanmu, Nduk?” Rahma
memeluk Bunda. ”Apakah cintamu ke lelaki itu melebihi penghormatanmu kepada
kami? Bukan karena Ayah atau Bundamu percaya akan kepercayaan tersebut. Selagi
kita bisa menghindari kenapa tidak. Masmu dulu juga membantah. Apa dia sekarang
bahagia?”
”Ayah tidak melarang kau menikah
dengan dokter berdarah Kediri itu, tetapi Ayah sangat kecewa jika kau menolak
lamaran Nak Arya.”
Kalimat terakhir Ayah bernada
pemaksaan.
Rahma tak tahu penjelasan apa yang
akan dikatakannya pada orang yang sangat dia cintai melebihi cintanya pada
dirinya sendiri. Orang tuanya tak dapat diajak berdiskusi secara baik.
Pikirannya campur aduk. Smsnya tak pernah Rahma balas, teleponnya tak juga diangkat. Hatinya
tak akan kuat memberikan kabar yang tak mengenakkan dan akan menyakitinya.
Kuliahnya terbengkalai, aktivitas kampus terhambat, skipsi tak dapat dia
kerjakan, masalah tersebut menghancurkan semua harapannya.
Salahkah aku mencintainya? Tunjukkan
kuasa-Mu ya Rob. Hambamu ini hanya meminta jalan yang terbaik atas semua
ujianmu.
Meja yang penuh dengan buku-buku
penelitian menghiasi pemandangan di sebelah Rahma. Ditengah kesibukannya,
tiba-tiba kekasihnya datang ke kampusnya. Rahma terkejut dan memutar otak untuk
memulai pembicaraan.
”Mas...”
Dia berjalan mendekat.
”Kapan Mas datang? Kenapa tidak
mengabariku?”
”Ratusan kali Mas meneleponmu, ribuan sms mas kirim ke
nomermu, tapi apa tanggapanmu?” Rahma tersenyum bimbang. ”Aku tadi telepon Ayu dan dia dilang kamu berada
di taman fakultas.”
Rahma membereskan buku dan mengambil
tas dan beranjak pergi, ”Mas belum makan? Adik traktir gimana?”
Dia menarik tangan dan mendudukkan
Rahma ke kursi.
”Mas suka Gudeg?” Rahma mencoba
mencairkan suasana.
”Mas kesini bukan untuk mencicipi
makanan khas Yogyakarta atau refreshing. Mas sangat merindukanmu dan Mas
ingin tahu kabarmu. Sebenarnya apa yang terjadi?”
”Mas hanya manusia biasa. Jika Mas
selama ini salah, benar-benar Mas minta ma’af. Apakah pertanyaan Mas waktu itu
membuatmu dalam masalah? Ceritalah, Dik.”
Mata Rahma berkaca-kaca.
”Baiklah jika kamu tidak mau cerita,
jangan salahkan Mas jika hubungan ini berakhir buruk. Mungkin memang Mas tak
pantas untukmu.”
”Mas...”
”Apakah akan kau biarkan Mas pulang
dengan kesedihan?”
Rahma akhirnya menceritakan semua
kegundahan dan masalah yang menimpanya. Tersendu-sendu dalam berucap dan
menangis. Dia tak mengurangi maupun melebihi cerita, jujur dan apa adanya. Dia
pasrah dengan akibat yang akan terjadi padanya.
”Mas ma’afkan aku.”
”Kau tak salah dan tak ada yang
salah dalam hal ini. Permasalahanmu hanya akan selesai karena takdir. Jika
mungkin akhir hubungan kita seperti yang orang tuamu inginkan. Mas ikhlas.
Keputusanmu keputusan Mas. Jadi, apapun yang kau putuskan Mas menerimanya. Mas
percaya kau tak pernah salah memilih. Sampai kapanpun, meskipun mas tak bisa
bersanding denganmu, cinta Mas kepadamu tak akan berubah.”
”Mas...”
”Usap air matamu, kamu terlihat
jelek jika menangis,” tangannya membasuh pipi Rahma. ”Senyum, Adikku.”
”Aku sangat mencintai mas.”
”Mas maupun Adik tak akan mengerti
arti cinta. Meskipun hampir setiap hari Mas mengatakan cinta kepadamu. Namun
tak akan ada yang tahu hakekat cinta. Simpanlah cinta untuk suamimu kelak. Kamu
jangan bersedih, suatu hari Mas akan menjadi saksi kebahagiaanmu.”
Dalam bahasa percakapannya tersirat
sebuah perpisahan. Walaupun tak ada kesepakatan putus, namun sudah jelas
hubungan mereka hanya akan dijawab oleh takdir. Semenjak pertemuan yang tak disangka
akan mengakhiri hubungan mereka, Rahma semakin galau. Meskipun mereka tetap
berhubungan baik, namun semua kebiasaan yang menjadi rutinitas berubah. Hal
yang sering dilakukan seperti perhatian dan kata-kata penyemangat hilang tergerus
perubahan. Terkadang di saat dia termenung, teringat masa lalu bersamanya.
Perlahan dia mengerti arti pemberiaan-Nya.
Udara malam menusuk tubuhnya. Burung
gagak berceloteh di atas rumah. Seperempat malam membangunkan tidurnya. Rahma
ke belakang mengambil air wudlu, terdengar suara burung gagak yang dari tadi
malam tak berpindah tempat. Diambilnya air dalam kulkas dan diteguknya dengan
syukur atas nikmat-Nya. Tiba-tiba gelas di tangannya terjatuh dan pecah. Dia
beristiqfar.
”Apa yang sebenarnya terjadi dengan
semua tanda-tanda-Mu?”
Handphonenya berbunyi, seketika dia meraih dan mengangkatnya.
”Innanlillahi wainnaillahirajiun...”
Air matanya deras mengalir, handphone yang dia pegang masih aktif
menelpon. ”Rahma akan segera pulang, Bun.”
Pemakaman ayahnya berlangsung pagi
tadi. Rahma dan Bunda berada di kamar, semua keluarga besar bercengkrama di
ruang tamu. Keluarga Mas Arya baru saja mengundurkan diri pamit pulang.
Dia putuskan mengambil cuti dan
menghentikan sesaat aktivitas kuliahnya. Impiannya untuk buru-buru memakai toga
telah sirna, baginya yang terpenting saat ini adalah ketenangan dan kebahagiaan
Bundanya, menyelesaikan semua perkerjaan yang Ayah tinggal. Rahma membantu
mengurus dagangan. Bunda sibuk mengajar di sekolah dasar di desa. Semenjak
kematian Ayah, Mas Adit balik pulang atas permintaan Bunda. Tak ada pemimpin
laki-laki lagi jika Mas Adit tidak kembali dalam keluarga.
”Nduk, Bunda berharap kau
menjadi sarjana. Teruskanlah perjuanganmu menjadi mahasiswa.”
”Tapi Bun...” Bunda menutup mulutnya
perlahan dengan jari telunjuk, alasanku tertahan.
”Urusan dagang dan rumah serahkan ke
Bunda dan Mas Adit.”
Perjuangan dia mulai kembali.
Semangatnya berkobar hingga pencapaian terpenuhi. Hari yang cerah dan penuh
makna. Perjuangannya menjadi mahasiswa terbayar mahal. Rahma lulus dengan cumlaude,
Mas Adit dan Bunda menjadi saksi sejarah kebahagiaan yang terukir. Sahabatnya
tak bisa hadir, dia mengucapkan selamat lewat email. Ayu sedang
melanjutkan master di Belanda. Kebahagiannya tiba-tiba terhenti, ingatannya
menelusur ke belakang. Teringat sebuah janji yang pernah terukir.
”Adik cepat lulus ya, Mas tak sabar
melihatmu memakai toga dan bersanding menemani hidup Mas. Mas janji di saat
Adik wisuda nanti orang yang pertama memberikan bunga terindah adalah Mas. Dengan
kabar yang membahagiakan, sebuah pinangan.”
Janji yang sirna, selalu teringat
dan membekas. Harapan Rahma mendapat pinangan dari orang yang enam tahun lebih
mengisi hatinya dan mungkin selamanya, kini telah pupus. Bukan pinangan
untuknya yang datang, melainkan kabar pujaan hatinya akan menikah, dan
undangannya dikirim langsung ke Yogyakarta, kota kenangan. Rahma hancur dan
menguras air mata, jiwa dan raganya tak akan sanggup memenuhi undangan
tersebut. Namun dia berusaha bangkit kembali, perkataan sahabatnya selalu
teringat dan mempunya nyawa mengembalikan hidupnya. Jika kau berjodoh
dengannya, tak akan ada yang dapat menghalangi kesaktian cinta kalian. Allah
Maha Mengetahui apa yang tidak kau ketahui.
Rahma memenuhi kalimat terakhir yang
dia dengan terucap dari mulut Ayah.
Ayu berkunjung ke rumah sahabatnya
di Lamongan, sekalian ingin melepas kerinduan. Dia bercanda menghibur Rahma,
dia sangat kenal sahabatnya. Rahma tipe orang yang pintar menyembunyikan
kesedihan dalam keceriaannya. ”Persiapan pernikahanmu bagaimana, Rahma?”
”Minggu depan aku akan menikah.”
Canda tawa menghiasi pertemuan
mereka yang sudah lama terpisahkan waktu dan jarak.
Hari yang sangat ditunggu keluarga
Rahma dan pihak mempelai pria, Mas Arya, akhirnya tiba juga. Acara pernikahan
Rahma dan Mas Arya berjalan lancar dan sukses, banyak rekan-rekan yang
berdatangan. Bunda sangat bahagia, kesedihan Rahma yang mendalam dan menyayat
terobati dengan senyum manis wanita yang telah melahirkannya. Rahma akan
belajar mencintai orang yang tak pernah dia tulis dalam agenda hatinya. Dalam
acara resepsi pernikahan Mas Arya mengenalkan tamu spesial, teman dekatnya
ketika kuliah di Surabaya. Sungguh kuasa-Nya luar biasa, tak satupun
makhluk-Nya yang tahu.
”Kenalkan sahabat Mas, dokter...”
”Mas...”
Dalam bahasa percakapannya tersirat sebuah perpisahan. Walaupun tak ada kesepakatan putus, namun sudah jelas hubungan mereka hanya akan dijawab oleh takdir.. sedihnya endingnya.. :'(
BalasHapusternyata suaminya sahabat dengan orang yg ingin dinikahi sebelumnya..